Keutamaan Menyebarkan Ilmu Agama
Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta
semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di
lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan
kebaikan (ilmu agama) kepada manusia”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan
besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama[2] yang bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat
manusia[3]. Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui setelah (tingkatan)
kenabian, kedudukan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu (agama)”[4].
Dalam hadist lain yang semakna dari Abu
Darda’ radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memahami ilmu
(agama dan mengajarkannya kepada manusia) akan selalu dimohonkan (kepada Allah Ta’ala) pengampunan (dosa-dosanya) oleh semua makhluk yang
ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan”[5].
Beberapa
faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan,
pujian, kemuliaan dan keberkahan dari-Nya[6]. Ada juga yang mengartikannya
dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan
(kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dialah
yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan
ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya
(yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43)[7].
- Orang yang mengajarkan ilmu agama
kepada manusia berarti telah menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya kemakmuran dan
kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena itu semua makhluk
di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan kebaikan baginya,
sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya[8].
- Sebagian dari para ulama ada yang
menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan bagi semua permohonan ampun yang
disampaikan oleh seluruh makhluk untuknya[9].
- Tentu saja yang keutamaan dalam hadits
ini khusus bagi orang yang mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas
mengharapkan wajah Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan
duniawi[10].
- Para ulama yang menyebarkan ilmu agama
adalah pewaris para Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam[11], karena merekalah yang menggantikan
tugas para Nabi dan Rasul ‘alaihis
salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta
bersabar dalam menjalankan semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling
mulia kedudukannya di sisi Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam[12].
- Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan sunnah (petunjuk)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada umat manusia
lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh (berperang
melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke leher musuh banyak orang
yang (mampu) melakukannya, sedangkan menyampaikan sunnah (petunjuk)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada umat manusia
hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga
Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan
karunia dan kemurahan-Nya”[13].
Kota Kendari, 13 Ramadhan 1431
H
Penulis: Ustadz Abdullah
bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
Catatan Kaki:
[1]
HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no.
7912), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan oleh hadits lain
yang semakna. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (4/467).
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir”
(5/525).
[3] Lihat keterangan imam Ibnul
Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).
[4] Dinukil oleh imam al-Khathib
al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Bagdad” (10/160).
[5] HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi
(no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam Ibnu Hibban dan
Syaikh al-Albani rahimahkumullah, serta dinyatakan hasan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).
[6] Lihat kitab “Zaadul masiir” (6/398).
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir”
(6/169).
[8] Lihat keterangan Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64) dan
al-Muanawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).
[9] Lihat kitab “Faidhul Qadiir”
(4/268).
[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir”
(5/525).
[11] Sebagaimana dalam HR Abu Dawud (no.
3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam
Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani rahimahkumullah.
[12] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64).
[13] Kitab “Jala-ul afhaam” (hal. 415).
0 Komentar