MUQODDIMAH
Aktivitas seorang muslim adalah sesuatu yang mahal harganya. Karena itu, dalam memilih aktivitas kehidupan, hendaknya kita pilih yang bermanfaat, bukan perkara yang sia-sia apalagi perkara yang mencelakakan.
Berikut ini sepuluh perkara yang tidak bermanfaat dan hendaknya kita jauhi bersama. Allahul Muwaffiq1
Sepuluh hal ini bukanlah pembatasan, masih banyak aktivitas kaum muslimin yang tidak bermanfaat bahkan bisa menjadi bumerang.
1. ILMU YANG TIDAK DIAMALKAN
Amalan adalah buah dari ilmu. Seorang yang berilmu tidak dikatakan berilmu yang sesungguhnya sampai dia mengamalkan apa yang dimilikinya. Sangat banyak dalil yang menunjukkan perintah mengamalkan ilmu yang kita miliki. Di antaranya:
Allah عزّوجلّ berfirman:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS al-Fatihah [1]: 6-7)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang punya ilmu tetapi tidak beramal, sungguh dia telah menyerupai kaum Yahudi yang mendapat murka dari Allah عزّوجلّ. Sebaliknya, orang yang beramal tetapi tanpa ilmu, sungguh dia telah menyerupai kaum nasrani yang telah tersesat. Allah عزّوجلّ tidak menghendaki semua ini, bahkan kita diperintah untuk selalu memohon petunjuk jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang telah diberi nik-mat dengan mewujudkan ilmu dan amal, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dari kalangan Yahudi atau jalan orang-orang Nasrani yang tersesat.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka akan Allah pahamkan dia dalam agama."1
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله, ketika mengomentari hadits di atas, menuturkan, "Maksud keutamaan dalam hadits ini adalah berilmu yang mengharuskan dia beramal. Jika yang dimaksud hanya sekadar berilmu saja, maka hadits ini tidak menunjukkan bahwa orang yang paham dalam agama mendapat kebaikan."2
Al-Qur'an dan Sunnah telah memberikan ancaman keras bagi orang tidak beramal padahal dia punya ilmu, atau dia mengajak kebaikan dan beramal tetapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh ini adalah perkara yang tidak bermanfaat sama sekali. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan ancaman keras tersebut adalah:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS al-Baqarah [2]: 44)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا تَزُولُ قَدِمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ؟ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَفْلاَهُ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ عَلِمهِ مَاذَا عَمِلَ فِيه؟ِ
"Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat hingga ditanya empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa digunakan, hartanya dari mana didapat dan ke mana disalurkan, serta ilmunya apa yang ia perbuat."3
Abu Darda' رضي الله عنه mengatakan, "Aku khawatir pada hari Kiamat nanti Allah akan memanggilku di hadapan para makhluk seraya mengatakan, "Wahai Uwaimir, apa yang engkau kerjakan terhadap ilmu yang engkau punya?"
Khathib al-Baghdadi رحمه الله berkata, "Aku wasiatkan kepadamu, wahai penuntut ilmu, untuk mengikhlaskan niat ketika belajar, mengorbankan jiwa untuk mengamalkan tuntutan ilmu tersebut, karena ilmu ibarat pohon dan amalan adalah buahnya. Tidaklah orang itu dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya. Janganlah engkau lupa beramal selama engkau bergelut dengan ilmu, tetapi gabungkanlah keduanya, ilmu dan amal. Sedikit dari ilmu dan disertai sedikit dari amalan lebih selamat dampaknya. Maksud dari ilmu adalah untuk diamalkan, sebagaimana maksud dari beramal adalah menggapai keselamatan, apabila dia meremehkan beramal dari ilmunya, maka itu akan membawa petaka bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah سبحانه و تعالى dari ilmu yang membawa petaka, mewariskan kehinaan yang menjadi harta curian bagi pemiliknya."4
2. AMALAN YANG DILAKUKAN TIDAK IKHLAS DAN TIDAK MENGIKUTI APA YANG DIAJARKAN RASULULLAH صلى الله عليه وسلم
Syarat agar sebuah amalan berbuah manis— atau dengan kata lain: diterima oleh Allah—ada dua: Pertama: ikhlas. Kedua: mencontoh Nabi صلى الله عليه وسلم.
Sangat banyak dalil yang menerangkan dua syarat ini, di antaranya Allah عزّوجلّ berfirman:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
Supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS al-Mulk [67]: 2)
Fudhail bin Iyadh رحمه الله menafsirkan ayat di atas dengan perkataannya, "Maksud ayat ialah yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan syari'at." Kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dimaksud dari paling ikhlas dan paling sesuai dengan syari'at. Beliau menjawab, "Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tetapi tidak sesuai dengan syari'at maka tidak diterima, demikian pula apabila sesuai dengan syari'at tetapi tidak ikhlas maka tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan syari'at."1
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak termasuk urusan kami maka tertolak."2
Berkata al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali رحمه الله, "Hadits ini secara kontekstual menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada perintah syar'i di dalamnya, maka amalan tersebut tertolak. Sebaliknya dapat dipahami pula bahwa setiap amalan yang ada perintahnya maka amalan tersebut diterima, maksud perintah di sini adalah agama dan syari'atnya."3
Maka sangat merugi dan tidak berguna sama sekali amalan yang tidak ikhlas dan tidak mencontoh Nabi صلى الله عليه وسلم. Perhatikanlah, wahai saudaraku seiman.
3. HARTA YANG TIDAK DIINFAKKAN DI JALAN ALLAH TA'ALA
Ketahuilah, harta hanyalah titipan dari Allah عزّوجلّ yang akan diminta pertanggungan jawabnya. Berdasarkan hadits yang telah berlalu: "Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat hingga ditanya empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa digunakan, hartanya dari mana didapat dan ke mana disalurkan, serta ilmunya apa yang ia perbuat."1
Sudahkah kita merenungi dan bertanya pada diri kita masing-masing tentang harta kita, dari mana didapat dan ke mana disalurkan?? Apakah kita mendapatkannya dari cara yang halal ataukah yang haram?? Lantas ke manakah harta kita disalurkan?
Renungkanlah nash-nash berikut ini yang memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak menunaikan hak yang semestinya. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ . يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS at-Taubah [9]: 34-35)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Tidaklah seseorang meninggal dunia kemudian dia meninggalkan kambing, unta, atau sapi yang dia tidak menunaikan zakatnya kecuali hewan tersebut akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan yang lebih besar, hingga hewan itu menginjaknya dan menusuk dengan tanduknya hingga Allah memutuskan perkaranya di antara manusia."2
Sumber: Bulan Puasa Dan Kesucian Jiwa oleh Ustadz Abu Ubaidah
bersambung................

0 Komentar