Keutamaan Amal-amal Shaleh Yang Pahalanya Terus Mengalir
بسم الله الرحمن الرحيم
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ: « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ » رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah bahwa sungguh Rasulullah
telah bersabda: “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya
kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena
diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan
anak shaleh yang selalu mendoakannya”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya
keutamaan mengusahakan amal-amal shaleh tersebut karena di samping keutamaannya
sendiri yang besar, juga pahalanya yang terus mengalir meskipun orang yang
mengusahakannya telah meninggal dunia. Imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini
dalam bab: Pahala yang (terus) didapatkan oleh seorang manusia (meskipun) dia
telah meninggal dunia[2].
Hadits ini juga merupakan penjabaran dari
firman Allah:
{إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ
مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ}
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang
mati dan Kami mencatat amal yang telah mereka kerjakan (di dnia) serta
bekas-bekas (yang) mereka (tinggalkan)” (QS Yaasiin: 12).
Artinya: Kami akan menulis amal-amal yang
mereka kerjakan sendiri dan jejak-jejak yang mereka tinggalkan, karena mereka
yang mengusahakan sebab terwujudnya amal-amal tersebut, baik amal yang shaleh
maupun amal yang buruk[3].
Beberapa pelajaran penting yang dapat kita
petik dari hadits ini:
- Seorang manusia yang telah meninggal dunia,
maka terhentilah amal perbuatannya dan terputuslah aliran pahala untuknya,
kecuali amal-amal yang diusahakannya selama hidupnya di dunia. Allah
berfirman:
{أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى.
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى}
“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan
memperoleh selain apa yang diusahakannya” (QS an-Najm: 38-39).
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir
berkata: “Artinya: Sebagaimana seorang manusia itu tidak dibebankan padanya dosa
orang lain, maka demikian pula dia tidak akan mendapatkan pahala kecuali (dari)
amal yang pernah dilakukannya sendiri. Dari ayat yang mulia inilah, imam
asy-Syafi’i – semoga Allah merahmati beliau – dan para ulama yang mengikuti
pendapat beliau, (mereka) menyimpulkan bahwa pahala bacaan al-Qur’an yang
dihadiahkan kepada orang yang telah mati tidak akan sampai (kepadanya), karena
itu bukan amal perbuatannya sendiri dan juga bukan (terwujud dengan) usahanya.
Oleh karena itu, Rasulullah tidak pernah menganjurkan atau mengarahkan umat
beliau untuk melakukan perbuatan ini, baik dengan pertanyaan maupun isyarat.
(sebagaimana) hal ini juga tidak pernah dinukil dari (keterangan/perbuatan)
salah seorang shahabat, padahal kalau sekiranya perbuatan tersebut baik maka
pasti mereka akan mendahului kita dalam perbuatan tersebut. Dan masalah (amal
ibadah untuk) mendekatkan diri kepada Allah (sumber pensyariatannya) hanya
terbatas pada dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah ), tidak boleh
ditetapkan dengan menggunakan qiyas (analogi) ataupun pikiran
(semata-mata)”[4].
- Anjuran untuk selalu mempersiapkan diri
menghadapi datangnya kematian yang pasti terjadi, dengan memperbanyak amal-amal
shaleh. Allah berfirman:
{الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ
أَمَلاً}
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS al-Kahfi:
46).
- Anjuran mewakafkan harta untuk amal-amal
kebaikan, seperti pembangunan mesjid, sekolah agama Islam, penyediaan mushaf
al-Qur’an, penggalian sumur untuk kebutuhan kaum muslimin, dan
lain-lain[5].
- Anjuran menyebarluaskan ilmu yang benar dan
bermanfaat dengan cara mengajarkannya dan menulis tulisan yang bermanfaat bagi
manusia[6].
- Anjuran mengusahakan pendidikan yang baik
untuk anak-anak agar mereka menjadi anak yang shaleh[7].
- Dalam hadits ini juga terdapat anjuran untuk
menikah dengan tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh dan bermanfaat bagi
orang tuanya sepeninggal mereka[8].
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengirim
pahala bacaan al-Qur’an, shalat dan amal-amal lainnya, tidak diperbolehkan dan
tidak akan sampai kepada orang yang telah mati, karena bukan termasuk usahanya.
Inilah pendapat imam asy-Syafi’i dan mayoritas ulama, sebagaimana penjelasan
imam an-Nawawi[9].
-Adabeberapa amal shaleh yang bisa bermanfaat
bagi orang yang telah mati meskipun amal tersebut bukan dari usahanya, ini
merupakan pengecualian karena disebutkan dalam dalil-dalil yang shahih, tapi
tidak boleh disamakan dengan amal-amal shaleh lainnya, karena bertentangan
dengan dalil-dalil yang kami sebutkan di atas. Di antara amal-amal
tersebut:
- Doa orang muslim bagi orang yang telah mati,
jika terpenuhi padanya syarat-syarat dikabulkannya doa
- Puasa nazar yang belum dilakukannya kemudian
ditunaikan oleh salah seorang walinya
وصلى الله وسلم وبارك و أنعم على عبده ورسوله
نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين
Kota Kendari, 10 Rabi’ul akhir 1433
H
[1] HSR Muslim (no. 1631).
[2] Kitab “Shahih Muslim” (3/1254).
[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 692).
[4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/329).
[5] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/467).
[6] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (11/85) dan “Bahjatun
naazhiriin” (2/468).
[7] Ibid.
[8] LIhat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (11/85).
[9] Dalam kitab “Syarhu shahihi Muslim” (11/85).
[10] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/193) dan “Ahkamul jana-iz”
(hal. 213-226)..
0 Komentar