Tulisan ini saya buat, sekedar ‘sharing’ pada umat Muslim, sekedar berbagi pengalaman dan hikmah seorang hamba yang sedang belajar pada ilmu agama dan ilmu dunia (science pada umumnya). Alasan utamanya adalah mengajak untuk sama-sama mengejar ilmu agama.

Jika kita renungi, dari tambah bergeraknya jaman mendekati akhir, godaan manusia akan kecintaan pada dunia bukan main dahsatnya. Bagaimana tidak? Hukum-hukum-Nya dicari-cari tetapi dipergunakan untuk pembenaran kebengkokan-kebengkokan perilaku manusia yang menentang sunnah (aturan) – Nya. Betapa tidak penat kita, wanita-wanita yang membuka aurat-nya sampai buah dada-nya dikeluarkan-pun minta diterima dan tidak diberikan pencekalan atas nama hak azazi, yang melakukan perzinaanpun masih dapat dilambungkan menjadi idola, perkawinan yang tidak halal-pun minta dilegalkan, yang membela kebenaranpun dapat dengan mudahnya dibalikkan dengan tuduhan makar, saksi kebenaranpun dapat dijebloskan ke penjara. Yang jelas-jelas mencoba memotong-motong ayat-ayat Allah dan mengaku-ngaku menjadi Rasul mendapatkan bantuan internasional. Banyak yang meneriakkan kembali kehati-nurani, jadilah manusia yang rahmatan lil alamin, tetapi mereka tidak belajar dengan ilmu untuk mengenali hati yang lurus.
Ironis memang, kekacauan ini tidak akan selesai memporak-porandakan hidup kita jika kita mengakui agama sebagai pandangan hidup kita, sebagai pedoman hidup kita, tetapi kita enggan belajar dengan ilmu agama yang hag - Kitabullah Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.

Kita sudah jelas diperintahkan untuk mendahulukan ilmu (agama) sebelum ucapan dan perbuatan sebagaimana ada dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya (Hadist):
Dalam surat Al Isro’, 36, disebutkan ‘Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban’.
Dalam HR Tirmidzi Juzu 11 (67) disebutkan ‘Takutlah kalian pada Hadist dariku kecuali apa-apa yang kalian tahu, barang siapa yang mendustakan atasku dengan sengaja atasku maka hendaklah bertempat pada tempatnya di neraka dan barang siapa yang dalam Quran dengan tanpa ilmu maka hendaklah bertempat pada tempat duduknya di neraka’.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar di dalam HR Abu Daud: “Ilmu yang wajib dipelajari itu ada tiga, adapun selainnya tiga itu lebihan (tidak wajib); ayat yang muhkam (Al Qur’an), sunnah yang tegak (Al Hadist), ilmu pembagian waris yang adil.
HR Bukhari dalam Kitabul Ilmi disampaikan:
“Ilmu (agama) itu wajib dituntut sebelum mengucapkan dan sebelum beramal”.
Barang siapa melalui suatu jalan untuk mencari suatu pengetahuan (agama), Allah memudahkan baginya jalan menuju surga
Sesungguhnya ilmu itu hanya diperoleh denga belajar
Maka sangat jelas perintah-perintah diatas, bahwa menjalankan agama tanpa ilmu adalah salah.
Jika ilmu tidak didahulukan, alangkah sulitnya menjadi insan yang mampu memahami nuraninya. Bagaimanakah manusia mampu menyelaraskan ucapan, tindakan, dan hati sesuai jalan Illahi tanpa ilmu agama? Bukankah hati kita-pun harus kita lindungi dengan doa, lalu bagaimana kita dapat melindungi hati dengan doa jika tanpa ilmu?

Rasulllallah SAW mencontohkan doa untuk hati:
Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati saya atas agamaMu
Ya Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati saya atas taat
Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati saya atas iman.
Islam itu agama dengan perintah yang sangat jelas sebagaimana sebuah Hadist menjelaskan bahwa terangnya (sangat jelasnya) agama yang benar ini adalah sebagaimana terangnya malam pada siang hari.
Dengan ilmu dan hidayah-Nya, hukum Islam itu menjadi jelas, sebegitu jelasnya ditunjukkan mana yang haq dan mana yang bathil, dengan ilmu pula ditunjukkan mana yang harus disegerakan dan mana yang lebih utama serta mana yang sia-sia. Dan tidak akan terhitung nikmat belajar dengan ilmu-Nya yang tidak mungkin disebut satu per satu.
Akankah orang berilmu agama itu akan menjadikan dirinya sombong? Bisa jadi di hadapan manusia mereka menjadi sombong, tetapi mampukah mereka dihadapan Tuhannya sombong, sedang dia telah diberikan petunjuk ilmu baik di Al Qur’an (Ash Shaaf, 2-3) dan dalam Hadist Muslim dan Bukhari jelas-jelas disampaikan yang intinya bahwa yang berilmu tetapi tidak mengamalkan akan mendapatkan celaka di akhirat.Bukankah seorang hamba hanya mendapatkan murka Tuhannya jika tidak mengamalkan ilmu yang dia peroleh? Dengan ilmu pulalah hal ini dipahami.
Dalam HR Muslim yang diriwayatkan Aisyah ra, akhlak Rasullalah SAW itu adalah Al Qur’an, maka suri tauladan manakah yang lebih baik dari pada suri tauladan yang dicontohkan Rasul-Nya? Bukankah Rasul pula yang menjelaskan lebih lanjut tentang keutamaan ilmu agama? Dengan ilmu pula kita tahu Allah-lah yang memperkenankan hambaNya untuk memohon di sepertiga malam terakhir, bahkan Allah berkenan turun ke langit bumi pada sepertiga malam tersebut untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Hati manusia manakah yang langsung dapat menangkap nikmat Allah ini, kalau tidak didahului dengan ilmu?
Janganlah kita kuatir dengan mengejar ilmu agama, ilmu agama itu bukan dibangun atas argumentasi-argumentasi. Ilmu agama dalam Al Qur’an itu dibangun atas kalam Illahi, Allah pula yang telah berjanji memelihara kalam-Nya (Al Hijr, 9) yang telah disempurnakan terkumpul di dalam Kitabullah Al Qur’an. Justru karena merupakan kalam Illahi, maka bagaimanakah manusia dapat memahami lautan hikmah kalam-Nya kalau bukan mengambil suri tauladan Rasul-Nya? Waktu kurang lebih 22 tahun diturunkannya Al Qur’an bahkan menjadikannya hikmah akan kecukupan waktu untuk Rasul-Nya memberikan penjelasan dan contoh dalam kehidupan yang nyata bagaimana Kalam-Kalam-Nya dalam Al Qur’an mesti dipahami dan dijalankan.

Jika tanpa ilmu (agama), bagaimanakah kita akan paham bahwa sesungguhnya Allah pula yang memberikan hidayah dan kekuatan pada sebagian umat-Nya untuk menjadi penolong-penolong agama Allah. Maka kekuatan dari manakah yang dapat membuat seorang hamba melakukan perjalanan belasan tahun, menelusuri Hadist, berguru langsung pada ratusan guru, menghafal ribuan teks Hadist diluar kepala, dan bahkan masih melakukan shalat istikharah untuk benar-benar memastikan ke-shahih-an dari tiap-tiap hadist? Bukankah tidak akan ada manusia yang sanggup melakukannya jika bukan karena dilebihkannya satu manusia atas manusia lainya oleh-Nya? Seperti dibukakannya hidayah Allah pada Umar bin Khatab yang awalnya memusuhi Islam, atas doa Rasullalah SAW, beliau diberikan hidayah, menjadi hamba yang beriman, yang sepanjang sejarah menjadi suri tauladan pemimpin yang menegakkan agama Allah, yang menjadi contoh kebesaran dan keadilan Islam ketika hukum-Nya benar-benar ditegakkan. Bersyukurlah kita atas bantuan-bantuan penolong-penolong agama Allah ini, suri tauladan Rasullallah SAW itu telah dibukukan dalam Kitab-Kitab Hadist yang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya.

Akan menjadi rumit ilmu agama itu apabila kita belajar dengan agama dengan niat mencari-cari hukum Allah dan Rasul-Nya untuk mencari pembenaran tindakan seseorang karena jika akhirnya kita ketahui perilakunya salah dia akan terus menerus mencari alasan berargumentasi sampai akhirnya mengatakan artinya Al Qur’an begini dan begitu (dengan tanpa ilmu) dan Hadist yang Shohih-pun dikatakan sudah tidak relevan lagi dengan jaman. Disinilah logika akal menjadi pemain utama. Maka hati-hati dengan niat kita, karena bantahan-bantahan yang terus kita lakukan akan menjadikan hati kita ditutup oleh-Nya.
Tidak akan menjadi rumit ilmu agama itu apabila mencari ilmu keduanya dengan niat mencari kebenaran untuk meluruskan perilaku kita yang jahiliyah, perilaku kita yang salah, kita tunduk, meluruskan perilaku kita karena perintah Allah dan Rasul-Nya yang haq. Kita doa memohon pertolongan-Nya apabila kita masih enggan mengubah perilaku kita. Disinilah penyerahan diri seorang hamba untuk tunduk pada hukum-Nya yang akan membukakan pada pintu hikmah. Hikmah tidak muncul karena bantah-berbantahan, tetapi hikmah muncul ditengah usaha hamba menjalankan-mengamalkan perintah-Nya.

Janganlah ilmu agama itu disangka sebagaimana science yang umum dikembangkan saat ini yang dibangun atas argument-argument. Science umum ini dikembangkan atas belajarnya manusia pada alam dan kehidupan ini. Karenanyalah mereka menyusun dengan data dan argumen-argumen. Logika akal menjadi peranan penting disini. Sanggupkah manusia membuat miniature bumi ini dan membuatnya terapung dari tangan-tangan mereka tanpa mengambil dari milik-Nya yang ada dibumi ini? Sanggupkah manusia menumbuhkan tanaman tanpa mengambil sama sekali media Allah yang ada dibumi ini? Sanggupkah manusia benar-benar memahami akal dan hati manusia sedangkan kesalah pahaman sekecil apapun itu masih dapat muncul diantara dua jiwa yang hidup bertahun-tahun bersama karena cinta? Bukankah manusia tidak akan sanggup?. Bukankah dalam dunia medis juga sering ditemui, saat mereka menyerah sudah tidak mampu lagi menyembuhkan dengan obat dan alat medis mereka, Allah memperkenankan kesembuhan seorang hamba? Maka meski kita mempunyai data dan ilmu atas apa yang kita pelajari dari bumi ini, terdapat perbedaan yang tidak dapat ditandingi antara ilmu manusia dan ilmu Allah. Maka dari itulah science umum ini kebenarannya sangatlah relative, bisa benar pada kondisi tertentu tetapi bisa sangat salah pada kondisi yang lain.

Lalu bagaimana mungkin manusia-manusia saat ini mengaku sanggup mengambil hikmah kalam-kalam Illahi, menterjemahkan kalam-kalam Illahi, dan menemukan kebenaran hakiki TANPA belajar dengan al Qur’an dan belajar dari sunnah Rasul-Nya (Al Hadist)? Apakah manusia saat ini sanggup saat dia diberikan kesempatan dengan harta kekayaan tetapi lebih memilih menolong sesamanya sampai bahkan tidak dapat menyisakan makanan sedikitpun dalam satu hari bagi keluarganya, bahkan pada saat yang bersamaan dengan kondisi kesederhanaan seperti itu masih mampu menjadi pemimpin besar umat sepanjang sejarah, menegakkan keadilan, menebarkan kemuliaan akhlak, dan bahkan tidak pernah melepaskan sholat malam sampai kakinya bengkak? Kemuliaan akhlak Muhammad SAW bagaikan lautan hikmah yang tidak akan pernah kering. Maka jika kita harus memilih, adakah jalan yang lebih baik dari selain belajar dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya lalu berusaha mengamalkannya?.
Maka kenapa pula kita tidak bergegas berguru untuk belajar dengan ilmu agama keduanya?

0 Komentar