Cara Shalat Id Di Rumah
Keluarga Bani
Faridan Mangkuyudan Yogyakarta dan Tipar Cimanggis melaksanakan Shalat Idul
Fitri 1441 H dirumah.
Cara Shalat Id Di
Rumah
Waktu Pelaksanaan
Shalat Id baru boleh dilaksanakan ketika waktu Dhuha. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dari madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak sampai sebelum zawal, yaitu ketika matahari tegak lurus. Dari Amr bin Abasah radhiallahu’anhu, ia berkata:
قدِم النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المدينةَ،
فقدِمْتُ المدينةَ، فدخلتُ عليه، فقلتُ: أخبِرْني عن الصلاةِ، فقال: صلِّ صلاةَ
الصُّبحِ، ثم أَقصِرْ عن الصَّلاةِ حين تطلُعُ الشمسُ حتى ترتفعَ؛ فإنَّها تطلُع
حين تطلُع بين قرنَي شيطانٍ، وحينئذٍ يَسجُد لها الكفَّارُ، ثم صلِّ؛ فإنَّ
الصلاةَ مشهودةٌ محضورةٌ، حتى يستقلَّ الظلُّ بالرُّمح
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, ketika itu aku pun datang ke Madinah. Maka aku pun menemui beliau, lalu aku berkata: wahai Rasulullah, ajarkan aku tentang shalat. Beliau bersabda: kerjakanlah shalat shubuh. Kemudian janganlah shalat ketika matahari sedang terbit sampai ia meninggi. Karena ia sedang terbit di antara dua tanduk setan. Dan ketika itulah orang-orang kafir sujud kepada matahari. Setelah ia meninggi, baru shalatlah. Karena shalat ketika itu dihadiri dan disaksikan (Malaikat), sampai bayangan tombak mengecil” (HR. Muslim no. 832).
Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu dhuha itu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
ووقتها يبتدئ من ارتفاع الشمس قيد رمح في عين
الناظر، وذلك يقارب ربع ساعة بعد طلوعها
“Waktu shalat dhuha adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak bagi orang yang melihatnya (matahari). Dan itu sekitar 15 menit setelah ia terbit” (Fatawa Ibnu Baz, https://ar.islamway.net/fatwa/14645).
Dan boleh mengerjakan sepanjang waktu setelah masuk waktu Dhuha sampai zawal (waktu Zhuhur). Itu adalah batasan akhir waktu shalat Id. Dari Abu Umari bin Anas bin Malik ia berkata:
حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ
اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا،
فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم
رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا،
وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ
“Paman-paman kami dari kalangan sahabat Anshar menuturkan kepada kami, mereka mengatakan: Pernah kami tidak bisa melihat hilal Syawal. Maka keesokan paginya kami masih berpuasa. Kemudian datanglah rombongan kafilah pada waktu sore hari dan mereka bersaksi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin malam. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan keluar menuju shalat Id besok harinya” (HR. Ibnu Majah no.1348, Ahmad no.20603, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru mengetahui terlihatnya hilal di sore hari, namun mereka tidak mengerjakan shalat Id di waktu tersebut. Beliau menunda hingga esok hari. Menunjukkan bahwa shalat Id memiliki batas waktu akhir, yaitu ketika zawal. Dan ulama ijma akan hal ini.
Jumlah Jama’ah
Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah peserta shalat Jum’at dan shalat Id sehingga bisa sah
disebut sebagai shalat secara berjama’ah. Para ulama menyamakan pembahasan
masalah ini antara shalat Jum’at dan shalat Id.
Terdapat beberapa riwayat dari Imam Ahmad bahwa beliau mensyaratkan 7 orang (1 imam dan 6 makmum), dalam riwayat lain 5 orang (1 imam dan 4 makmum), dalam riwayat lain 4 orang (1 imam dan 3 makmum), dalam riwayat lain 3 orang (Hasyiyah Al Akhshar libni Badran, 127). Pendapat yang dikuatkan oleh Daud Azh Zhahiri dan Asy Syaukani adalah 2 orang (1 imam dan 1 makmum), sebagaimana shalat fardhu.
Pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam, minimal shalat Jum’at dan juga shalat Id adalah 3 orang, yaitu 1 orang imam dan 2 orang makmum. Karena kata “jama’ah” dalam bahasa Arab ini artinya “sekelompok orang” yang minimal jumlahnya 2. Dan tercapai jama’ah jika makmumnya minimal ada 2. Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:
واختلف العلماء في العدد المشترط لهما، وأصح
الأقوال أن أقل عدد تقام به الجمعة والعيد ثلاثة فأكثر، أما اشتراط الأربعين فليس
له دليل صحيح يعتمد عليه
“Ulama khilaf mengenai jumlah yang dipersyaratkan (dalam jama’ah shalat Id). Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa jumlah minimal peserta shalat Jum’at dan shalat Id adalah 3 orang atau lebih. Adapun mempersyaratkan 40 orang, maka ini tidak ada landasan dalilnya yang shahih” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 halaman 12).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
أقربُ الأقوال إلى الصواب: أنها تنعقد بثلاثة،
وتجِب عليهم
“Pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa jumlah minimalnya adalah tiga orang, dan tiga orang ini harus orang yang sudah terkena kewajiban shalat Jum’at” (Asy Syarhul Mumthi’, 5/41).
Namun shalat Id di rumah itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri, tidak harus berjama’ah, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.(muslim.or.id)
0 Komentar