IBARAT sebuah bangunan, syahadat adalah pondasi. Bangunan tanpa pondasi akan mudah roboh oleh serangan badai. Musim hujan tidak bisa dijadikan tempat berteduh. Dan pada musim kemarau tidak bisa dijadikan untuk melindungi diri dari sengatan sinar matahari. Keislaman seseorang tanpa pondasi iman yang kokoh tidak mampu mengubah pola pikir dan sikap mental seseorang. Syahadat akan menjadikan aktivitas keislaman kita melahirkan ruhul jihad.

Tuntutan syahadat adalah amanah yang berat dipikul secara fisik dan rohani. Musa ketika bertanya kepada Allah tentang syahadat, Allah menjawab bahwa seandainya syahadat dalam satu timbangan dan langit, bumi dan seisinya ditambah tujuh langit pada timbangan yang lain, maka tidak akan cukup menyamai beratnya timbangan Kalimah Tauhid itu.

Syahadat identik dengan sebuah komitmen, persaksian, baiat, dan janji setia. Syahadat adalah refleksi dan aktualisasi iman. Bukan sebatas SK, MoU. Dengan mengucapkan kalimat syahadat berarti seseorang telah mengikat janji dengan Allah, bersumpah, dan hanya siap secara lahir dan batin untuk diatur oleh syariat-Nya.

Ada beberapa implikasi jika seorang telah mengucapkan syahadat. Diantaranya adalah;
• . Syahadat juga sebagai bukti pengakuan terhadap keesaan Allah saja.
• • Mengakui Allah Sebagai Pencipta ( QS, Al Anam : 102, QS. Al Mukmin : 43).
• • Tidak ada pemberi rezeki selain Allah ( QS. Hud : 6, QS. Fathir : 3).
• • Merasa tidak ada yang memberi manfaat dan madharat selain Allah (QS. Al Anam : 17, QS. Al Maidah : 76, QS. Yunus : 107).
• • Tidak ada yang mengatur alam semesta selain Allah (QS. As Sajdah : 5). Tidak ada yang menjadi pelindung selain Allah (QS. Al Baqoroh : 257, QS. Al Maidah : 55).
• • Tidak ada yang berhak menentukan hukum selain Allah (QS. Al Anam : 57,114, QS. Yusuf : 40).
• • Tidak ada yang berhak memerintah dan melarang selain Allah (QS.Al Araf : 54).
• • Tidak ada yang berhak menentukan undang-undang selain Allah (QS. Asy Syura : 21).
• • Tidak ada yang berhak ditaati selain Allah (QS. Ali Imran : 32, 132). Semuanya itu tersimpul, tidak ada yang berhak disembah puja (diibadahi) selain Allah (QS. Thoha : 14).
• • Janji setia ini harus didahulukan dengan ikhlas, ilmu, yakin, benar dan dengan penuh mahabbah sebelum terikat dengan janji-janji yang lain.
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian dari dulu. Dan (begitu pula) dalam (al Quran) ini supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia.” (QS. Al Hajj (22) : 78).

Karena sebuah perjanjian kepada Allah, maka ia harus dinomorsatukan. Sebab tiada yang paling penting dalam kehidupan ini selain Allah. Perjanjian kepada Allah kita junjung tinggi; yang pertama dan yang terakhir. Allah adalah penentu kehidupan ini. Dialah yang menguasai ubun-ubun kita. Sekalipun besar pengaruh kekuasaan, kekayaan, kepandaian seseorang tidak akan mampu menolak fenomena penciptaan dari-Nya. Siapa yang bisa menolak proses kejadian manusia, dimulai pada masa menjadi janin, masa kanak-kanak, masa muda, masa dewasa, masa tua (beruban), datangnya musibah dan kematian? Allah tempat bergantung semua makhluk di dunia ini.

Tuhan kata Dr. Imaduddin Abdul Rahim (alm) adalah sesuatu yang mendominasi kita sedemikian rupa, dan kita siap dihegemoni oleh sesuatu itu. Jika kekuasaan, harta, wanita mendominasi diri kita sehingga kita rela berkorban apa saja yang kita miliki selama 24 jam untuk meraihnya dan melupakan yang lain, berarti ketiganya adalah Tuhan kita.

Semua bentuk perjanjian yang lain harus diklarifikasi terlebih dahulu. Boleh kita berjanji dengan isteri kita, tetapi janji itu sifatnya relatif, bersyarat, yaitu dalam kerangka penegakan syariat Islam di lingkungan keluarga. Sehingga pernikahan antara dua anak Adam akan menambah kekuatan, kejayaan Islam dan kaum muslimin. Jika ikatan kekeluargaan antara suami isteri hanya memenuhi kebutuhan biologis semata, apalagi dalam prosesi pelaksanaannya tidak mengindahkan nilai-nilai Islam, maka ikatan demikian adalah haram hukumnya.

Rasulullah Saw. Bersabda: “Tidak ada seorang pun yang mentaati apa-apa yang diinginkan oleh (hawa nafsu) seorang istri, melainkan pasti Allah akan membenamkan ke dalam neraka.”

Demikian pula dalam kerjasama bisnis, jangan sampai bersebrangan dengan janji dengan Allah. Kita dituntut teliti apakah ada pasal-pasal tertentu yang menyalahi syariat? Jika perjanjian tersebut menguntungkan Islam, tidak menjadi masalah. Tetapi jika melecehkan harga diri kaum muslimin, maka harus dibatalkan sekalipun menjanjikan keuntungan milyaran rupiah.

Dalam bidang politik kita tidak dilarang untuk membangun koalisi, aliansi, kaukus politik dengan aliran, organisasi, intitusi, kelompok, perkumpulan apa saja dengan syarat mengikuti aturan main yang islami. Menjunjung tinggi nilai keadilan, persatuan, supremasi hukum, dan nilai-nilai moral sebagai panglima. Kita dilarang untuk mengadakan konspirasi jahat. Bekerjasama dalam kebatilan dan kerendahan akhlak.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (QS. Al Maidah (5) : 2).

Ibnu Jarir mengomentari ayat ini ‘ al Istmu’ artinya meninggalkan apa yang diperintahkan untuk dilaksanakan, dan kalimat ‘al ‘Udwan’ artinya melampau batas terhadap ketentuan Allah dalam agamamu dan melangkahi apa yang difardhukan atas dirimu dan selainmu (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir I, hal. 478).

Berkaitan dengan ayat ini, Rasulullah Saw. bersabda : “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi, dikatakan: Ya Rasulullah, ini saya menolongnya yang terzhalimi, bagaimana saya menolongnya jika ia berbuat zhalim? Ia menjawab: engkau cegah dan halangi dari perbuatan zhalim, maka itulah menolongnya.” (HR. Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik).

Berkata Ahmad dari Yahya bin Witsab - ada seorang lelaki dari sahabat Nabi saw- berkata: seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan, mereka lebih besar pahalanya dari orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.

Dengan syahadat sesungguhnya kita tidak memiliki hak apapun terhadap diri kita. Semuanya telah kita jual dan kita wakafkan kepada Allah. Maka jika kita ingin membangun sebuah ikatan, apapun bentuknya dan dengan pihak manapun, dengan syarat tidak menodai komitmen keislaman, syahadat kita. Harus izin kepada pemilik diri kita, Allah SWT.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al Anam (6) : 162).

Janji yang kita ulang-ulang lebih dari 17 kali di atas tidak boleh kita khianati. Kita dituntut konsisten, komitmen dan konsekuen terhadap janji yang telah kita ikrarkan. Jika janji kepada Allah saja berani kita dilanggar, apalagi janji yang kita ucapkan kepada makhluk-Nya?

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal (8) : 27).

Ketika bersyahadat maka pada saat itu kita harus bangga sebagai muslim. Identitas sebagai muslim harus melekat pada diri kita di mana saja dan kapan saja. Islam adalah darah daging kita. Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim (QS. Ali Imaran (3) : 64).

Syahadat kita nyatakan sejak awal keislaman kita dan kita pertahankan sampai akhir hayat kita. Inilah yang dinamakan istiqomah. Istiqomah berarti tegak lurus pada garis yang ditetapkan oleh Allah. Ibarat kereta api, istiqomah adalah melewati rel yang ada, bergesar sedikit akan fatal akibatnya.

“Inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Anam (6) : 153).

Dari Ibnu Masud berkata (mengomentari ayat di atas): Pada suatu hari Rasulullah saw membuat garis untuk kita, kemudian bersabda: ini jalan Allah, kemudian membuat garis dari arah kanan dan kirinya kemudian bersabda: inilah jalan-jalan, setiap jalan darinya ada syetan yang mengajak menuju ke arah jalan itu kemudian beliau membaca ayat sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah jalan itu (shafwatut Tafasir I, hal. 429).

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS. Al A’raf (7) : 172).

Firman Allah Swt diatas menerangkan bahwa janji setia, syahadat, baiat untuk loyal kepada Allah, sesungguhnya telah diikrarkan oleh semua calon manusia kepada Allah sejak di alam rahim. Jawaban terhadap tawaran Allah begitu mantap, karena pada saat itu keindahan, kekuasaan Allah tidak tertandingi oleh yang lain. Bertuhan inheren dengan fitrah manusia (sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahir).

Dengan demikian, komitmen bersyahadat harus kita introdusir secara terus-menerus, agar kesadaran hanya Allah yang dijadikan tumpuhan harapan dalam kehidupan ini tidak luntur. Perbaharuilah syahadatmu dengan (mengucapkan) Laa ilaaha illallah kembali jika persaksianmu dengan Allah jika dinilai mulai melenceng!

0 Komentar