Pengantar.
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari'at merupakan sikap ekstrim, dan akan selalu memicu persoalan, yang ujung-ujungnya ialah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan).
Makalah berikut ini diterjemahkan dari sebuah booklet yang dikeluarkan oleh Markaz Al-Imam Al-Albani, Yordania, tentang Bayan Hai'ah Kibar Al-Ulama Fi Dzammi Al-Ghuluwi Fi At-Takfir [Penjelasan Lembaga Perkumpulan Ulama Besar Saudi Arabia Tentang Celaan Terhadap Sikap Ghuluw -ekstrim- Dalam Mengkafirkan Orang Lain].
Lembaga ini diketahui oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullah. Kemudian penjelasan Lembaga tersebut disajikan ulang dan diberi catatan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari. Selamat menyimak.
Berikut ini adalah sebuah penjelasan ilmiah yang akurat. Di dalamnya terdapat kupasan yang jeli dan teliti. Mengukuhkan masalah yang teramat penting, bermanfaat bagi sekalian umat dan dapat menolak fitnah yang gelap gulita.
(Atas dasar itu), saya memandang perlu dan penting untuk menyebar luaskannya, sebagai nasihat dan sebagai amanat. Hal itu disebabkan oleh dua alasan.
Pertama
Karena banyak orang yang tidak mengetahuinya dan tidak memahaminya. Sedangkan yang mengetahuinya, tidak mau menyebarluaskannya [1], dan enggan menunujukkannya -kecuali yang mendapat rahmat Allah-
Kedua.
(Juga) karena di dalam penjelasan itu terdapat (usaha telaah) untuk membongkar rahasia keadaan sebagian orang ghuluw yang ekstrim. Yaitu orang-orang yang karena kebodohannya telah membuat citra agama menjadi buruk, dan karena penyimpangannya telah merusak kaum muslimin secara umum.
Padahal Islam -alhamdulillah- jauh lebih tinggi dan lebih agung. Islam lebih memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kebenaran.
Hanya kepada Allah aku memohon, agar Dia menjadikan penjelasan [2] ini bermanfaat bagi orang-orang pada umumnya, maupun secara khusus bagi orang-orang tertentu. Dia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berfirman.
"Artinya : Takutlah kamu akan suatu fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu" [Al-Anfal : 25]
Akhir do'a kami ialah, Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Alhalabi Al-Atsari
PENJELASAN HAI'AH KIBAR AL-ULAMA
Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia [3]
Sesungguhnya Majelis Hai'ah Kibar Al-Ulama, pada pertemuannya yang ke 49 di Thaif, yang dimulai tanggal 2/4/1419H [4] telah mengkaji apa yang kini berlangsung di banyak negeri-negeri Islam dan negeri-negeri lain, tentang takfir (penetapan hukum kafir terhadap seseorang) dan tafjir (peledakan) serta konsekwensi yang diakibatkannya, berupa penumpahan darah dan perusakan fasilitas-fasilitas umum.
Karena berbahayanya persoalan ini, begitu pula akibat yang ditimbulkannya, berupa melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah, perusakan harta benda yang mestinya terpelihara, menimbulkan rasa takut bagi banyak orang dan menimbulkan keresahan bagi keamanan serta ketentraman orang banyak, maka majelis Hai'ah memandang perlu untuk menerbitkan penjelasan ini, guna menerangkan hukum sebenarnya dari persoalan tersebut. Sebagai nasihat bagi Allah, bagi hamba-hambaNya dan sebagai pelepas tanggung jawab di hadapan Allah, serta sebagai upaya menghilangkan kerancuan pemahaman di kalangan orang-orang yang kacau pemahamannya.
Maka dengan taufik Allah kami katakan.
PERTAMA
Takfir (menetapkan hukum kafir/mengkafirkan) merupakan hukum syar'i. Tempat kembalinya adalah Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, kembalinya kepada Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, begitupula penetapan hukum kafir.
Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur, berarti kufur akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama.[5]
Karena sumber penetapan hukum pengkafiran kembalinya kepada Allah dan RasulNya, maka kita tidak boleh mengkafirkan seseorang, kecuali jika Al-Qur'an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas. Maka (mengkafirkan orang) tidak cukup hanya berdasarkan syubhat dan dugaan-dugaan saja, sebab akan berakibat pada konsekwensi hukum-hukum yang berbahaya.
Apabila hukum hudud (pidana) saja dapat terhapus dengan adanya syubhat (ketidak jelasan bukti) -padahal konsekwensinya lebih ringan daripada takfir-, apalagi masalah pengkafiran orang, tentu lebih dapat terhapuskan lagi dengan adanya syubhat (ketidak jelasan bukti).
Itulah sebabnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai menghukumi kafir kepada seseorang yang tidak kafir. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Siapapun orang yang mengatakan kepada saudaranya'Hai Kafir', maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataannya benar, (maka benar). Tetapi jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya" [Muttafaq 'alaih, dari Ibnu Umar].
Kadang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah terdapat nash yang dapat difahami darinya, bahwa perkataan ini, perbuatan itu atau keyakinan itu adalah kufur, tetapi orang yang melakukannya tidak kafir, disebabkan adanya penghalang yang menghalangi kekafirannya.
Hukum pengkafiran ini, sama seperti hukum-hukum lainnya. Yaitu tidak akan terjadi, kecuali jika sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada [6] dan penghalang-penghalangnya tidak ada. Umpamanya dalam masalah waris. Sebabnya (misalnya) adalah adanya hubungan kerabat. Kadang-kadang seseorang (yang mempunyai hubungan kerabat) tidak bisa mewarisi disebabkan oleh adanya penghalang, yaitu perbedaan agama. Begitu pula masalah kekafiran. Seorang mukmin dipaksa melakukan perbuatan kufur -misalnya-, maka ia tidak kafir karenanya.
Kadang seorang muslim mengucapkan kalimat kufur disebabkan oleh kesalahan lidah karena sangat gembiranya, atau sangat marahnya atau karena sebab-sebab lainnya. Iapun tidak kafir karenanya. Sebab ia tidak sengaja mengucapkannya. Seperti kisah orang yang mengatakan : "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu".( Dia tidak kafir -red). Dia salah mengucapkan kalimat itu karena sangat gembiranya (menemukan ontanya yang hilang ditengah kesendiriannya, -red).[7] [Hadits Shahih Riwayat Muslim, dari sahabat Anas bin Malik]
Tergesa-gesa menghukumi kafir terhadap seseorang akan mengakibatkan banyak perkara yang berbahaya. Di antaranya menghalalkan darah dan harta Muslim, dilarangnya saling mewarisi, pembatalan pernikahan dan lain-lain yang merupakan konsekwensi hukum-hukum orang murtad.
Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin boleh lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan syubhat yang sangat sederhana sekalipun ?
Dan apabila ternyata (tuduhan kafir, -red) ini ditujukan kepada para penguasa [8], maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Sebab akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, menebarkan isu kekacauan, mengalirkan darah dan membuat kerusakan terhadap manusia dan negara.
Karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang penentangan kepada penguasa. Beliau bersabda.
"Artinya : ..Kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata (bawaah), yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah".[Muttafaq 'alaih, dari Ubadah]
[a]. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (kecuali jika kalian lihat), memberikan pengertian bahwa tidak cukup (pengkafiran, -red) hanya berdasarkan dugaan dan isu.

[b]. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kekafiran), memberikan pengertian bahwa tidak cukup (penentangan terhadap penguasa, -red) hanya karena fasiknya penguasa, walau kefasikannya besar seperti zhalim, meminum khamr, berjudi dan dominan berbuat perkara haram.
[c]. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (nyata), memberikan pengertian bahwa tidaklah cukup kekafiran yang tidak nyata. Arti (bawaah) ialah jelas dan nyata.
[d]. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kalian memiliki bukti jelas mengenai kekafiran yang nyata dari Allah). Ini memberikan pengertian bahwa pengkafiran harus berdasarkan dalil yang sharih (jelas dan terang). Dalil itu harus shahih adanya dan sharih (jelas dan terang) pembuktiannya. Sehingga tidak cukup bila dalil itu lemah sanadnya atau tidak tegas pembuktiannya.
[e]. Kemudian sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (dari Allah), memberikan pengertian bahwa perkataan ulama manapun (dalam pengkafiran, -red) tidak bisa dianggap, meski betapapun tinggi ilmu dan sikap amanahnya, apabila perkataannya tidak berdasarkan dalil yang sharih (nyata dan terang) pembuktiannya dan shahih berasal dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ikatan-ikatan syarat-syarat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits) di atas menunjukkan betapa pentingnya permasalahan takfir (pengkafiran terhadap seseorang).
Kesimpulan.
Tergesa-gesa menghukumi seseorang sebagai kafir mempunyai bahaya yang besar. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Katakanlah. Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau yang tersembunyi, dan (mengharamkan) perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (juga mengharamkan kalian) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (juga mengharamkan) kalian mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang kalian tidak ketahui" [Al-A'raf : 32]
[Sumber: Majalah As-Sunnah]

0 Komentar