Orang Mukmin Tidak Pernah Stres
Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di
dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun
kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap
insan, yang beriman maupun kafir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35).
Imam Ibnu Katsir – semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Makna ayat ini) yaitu: Kami
menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan
kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta
siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa[1].”
Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada
Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya[2] yang maha sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk
kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang
teguh kepada agama-Nya-lah seseorang bisa meraih kebahagiaan hidup yang hakiki
di dunia dan akhirat. Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan
Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi
(kemaslahatan)[3] hidup bagimu.” (QS. Al-Anfaal: 24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa
kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak
memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan
(yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki
oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah
kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun
batin[4].”
Inilah yang ditegaskan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan. ” (QS. An-Nahl: 97).
Dalam ayat lain Dia berfirman,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada
Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu
yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang
mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti).” (QS. Huud: 3).
Ketika mengomentari ayat-ayat di atas,
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Dalam ayat-ayat ini Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi
orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan
balasan (kebaikan) di akhirat[5].
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat
berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati,
dalam sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku
pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[6].
Makna qurratul ‘ain adalah
sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati[7].
Sikap seorang mukmin dalam menghadapi
masalah
Dikarenakan seorang mukmin dengan
ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, memiliki kebahagiaan
yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini
tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan
karena keimanannya yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga
membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dan
dengan keyakinannya ini AllahSubhanahu wa Ta’ala akan memberikan
balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah
yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya,
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa
(seseorang) kecuali denga izin Allah, Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghaabun:11).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna ayat
ini: Seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut
merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan
(balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ), disertai
(perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah
akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang
menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa
jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik
baginya[8].”
Inilah sikap seorang mukmin dalam
menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa
musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang
kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini
akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini,
Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang
yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap
ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun
sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar
dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan
meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka
menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi
mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir,
maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan
pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih)
seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah
mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar
mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun
menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu
mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan” (QS. An-Nisaa’:104).
Maka orang-orang mukmin maupun kafir
sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang mukmin teristimewakan
dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa
ta’ala[9].”
Hikmah cobaan
Disamping sebab-sebab yang kami sebutkan
di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua
kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan
dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan
hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan
yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk
kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin
mendekatkan diri-Nya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Semua ini, disamping akan semakin
menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh
zhann (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dan dengan sikap ini AllahSubhanahu
wa Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya,
karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba
tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi,
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai
dengan persangkaannya kepadaku[10].”
Makna hadits ini: Allah akan
memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut
kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau
buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik
persangkaan dan harapannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala[11].
Di antara hikmah-hikmah yang agung
tersebut adalah:
1-
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan
tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit
hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit
tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau
minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu,
sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang
tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala [12].
Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam,
“Orang yang paling banyak mendapatkan
ujian/cobaan (di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala) adalah para Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam
keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan),
(setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau
agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka
dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian
itu (Allah Subhanahu wa ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya)
hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa
(sedikitpun)[13].”
2-
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan
tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan
seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai
hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah
maupun senang[14].
Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam,
“Alangkah mengagumkan keadaan seorang
mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini
hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan
bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia
akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya[15].”
3-
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di
dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap
kenikmatan sempurna yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan
bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Dan inilah keistimewaan surga yang
menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan
surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak
ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya
seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada
artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya
akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti[16].
Inilah di antara makna yang diisyaratkan
dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing
atau orang yang sedang melakukan perjalanan[17].”
Penutup
Sebagai penutup, kami akan membawakan
sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan
guru beliau, imam Ahlus sunnah wal jama’ah di jamannya,
syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmatinya –. Kisah ini
memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang
mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim berkata, “Dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang maha mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang
pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah). Padahal
kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan
duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan
yang beliau alami di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), yang berupa
(siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi
bersamaan dengan itu semua (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang
paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta
paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan
kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah),
jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami)
prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami
(segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang
(wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang
semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar,
yakin dan tenang[18].” (Sumber: manisnyaiman)
0 Komentar