Hari Hari Istimewa Dalam Islam
Miris melihat respon
umat Islam terhadap malam pergantian tahun beberapa hari yang lalu. Mereka
begitu gegap gempita larut dalam histeria yang tidak jelas apa maksud dan
tujuannya. Mereka sudah merencanakan berbagai acara jauh sebelum datangnya
malam tahun baru. Di jalan-jalan, mal, terminal, taman kota, dan pusat
rekreasi, mereka berkumpul, bernyanyi, menari, ikhtilat laki-laki dan
perempuan, anak-anak, muda, tua, lalu meniup trompet sepuasnya. Semuanya serba
tidak jelas. Tidak ada nilai apa pun di dalamnya kecuali hura-hura, tidak ada
makna apa pun di dalamnya kecuali kesia-siaan. Setelah itu mereka pulang ke
rumah masing-masing, lelah, lalu meninggalkan shalat subuh karena bangun
kesiangan. Lebih parah lagi, dan ini bukan mustahil, bisa jadi ada yang
menyambutnya dengan pesta minuman keras, narkoba, dan seks.
Inilah dia zaman ghurbah (keterasingan) Islam. Umat ini lebih dekat dengan budaya yang
bukan berasal dari agamanya. Bukan lahir dari rahim sejarah pahlawannya. Bukan
pula tercatat dalam kitab suci dan petunjuk rasulNya. Mereka
mengikutinya tanpa saringan sedikit pun, bahkan lebih dari itu, mereka
bangga dengannya, merasa modern, dan mengikuti zaman. Padahal bagi seorang
mu’min, tidak ada hari istimewa kecuali yang diistimewakan Allah dan RasulNya.
Tidak ada hari agung kecuali yang memang diagungkan oleh syariat yang mulia.
Tidak ada hari spesial kecuali yang di dalamnya diisi dengan amal-amal
kebajikan. Ada pun tahun baru, dia bukan apa-apa. Tidak ada nash, tidak pula
pandangan ulama, yang menyebutnya sebagai hari istimewa. Begitu pula Valentine, Thanksgiving, April Mop, Hellowen, dan semisalnya, yang merupakan budaya kaum kuffar.
Allah Ta’ala
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan
mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali ‘Imran (3): 100)
Dari Abu Said Al
Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalian akan benar-benar mengikuti orang-orang
sebelum masa kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai
mereka melewati lubang dhabb (biawak gurun, pen) kalian pun akan
mengikutinya.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan
Nasrani?” Beliau bersabda: “Siapa lagi?” (HR.
Bukhari No. 3456, 7320, Muslim No. 2669, Ibnu Hibban No. 6703, Al Bazzar No.
8411, Al Hakim No. 106, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al KabirNo. 5943, Ibnu Abi Syaibah
dalam Al Mushannaf No. 38531, dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam No. 675)
Di sisi lain, Islam
telah memiliki banyak hari istimewa bagi umatnya yang seharusnya membuat mereka
bahagia dan bangga, yang selayaknya mereka nantikan kedatangannya karena di dalamnya
memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki hari-hari lainnya. Semoga Allah
Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua ...........
Berikut ini adalah
hari-hari istimewa yang ada dalam Islam, dan cukuplah kita dengan hari-hari
istimewa milik kita sendiri.
Apa saja
keistimewaannya?
Dari Abu Hurairah Radhilallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
Diperiksa amal-amal
manusia pada setiap Jumat (baca: setiap pekan) sebanyak dua kali; hari senin
dan hari kamis. (HR. Muslim No. 2565)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Amal-amal manusia diperiksa setiap hari
Senin dan Kamis, maka saya suka ketika amal saya diperiksa saat saya sedang
berpuasa. (HR. At Tirmidzi No. 747, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 747)
- Hari dibukanya pintu-pintu
surga dan diampunkannya hamba
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Pintu-pintu Surga dibuka pada hari Senin dan
Kamis, maka saat itu akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, kecuali seseorang yang antara dirinya dan
saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan: ‘Tundalah pengampunan terhadap
kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua
orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang
ini sampai keduanya berdamai.” (HR. Muslim No. 2565, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 411, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6626)
- Senin adalah hari lahir , hari
wafat, dan hari diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menerima wahyu pertama
Dari Abu Qatadah Al
Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Nabi ditanya tentang
hari senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus
menjadi rasul, atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR. Muslim No. 1162)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa dia ditanya:
Hari apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat? Beliau menjawab: “Hari senin.” (HR. Bukhari No. 1387)
Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:
Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak safar, Beliau tidak bersafar
melainkan pada hari kamis. (HR. Ahmad No. 27178. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 27178)
Apa saja
keistimewaannya?
- Dijelaskan dalam riwayat
berikut lima keutamaannya:
Dari Abu Said Al
Khudri bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat, maka dia akan
disinari oleh cahaya sejauh di antara dua Jumat.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5792, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 3392, katanya: shahih. Dishahihkan pula oleh Syaikh Al
Albani dalamShahihul Jami’ No. 6470)
- Dibebaskan dari fitnah kubur
bagi yang wafat pada malam Jumat dan hari Jumat
Dari Abdullah bin Amr,
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidaklah seorang
muslim yang wafat pada hari Jumat atau malam Jumat, melainkan Allah akan
melindunginya dari fitnah kubur. (HR. At Tirmidzi No. 1073, Ahmad No. 6582, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No. 277)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, katanya:
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memegang tangku lalu bersabda: "Allah 'Azza wa Jallamenciptakan tanah pada hari
Sabtu, dan menciptakan padanya gunung-gunung pada hari Ahad, menciptakan
pepohonan pada hari Senin, menciptakan sesuatu yang dibenci pada hari Selasa,
menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan hewan melata pada hari Kamis,
menciptakan Adam 'Alaihissalam setelah Ashar pada hari Jumat, di akhir penciptaan pada akhir
waktu-waktu Jumat antara Ashar menuju malam. (HR. Muslim No. 2789)
Berikut ini keistimewaannya:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di
Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya:
“Apa ini?” mereka menjawab: “Ini hari baik, Allah telah menyelamatkan pada hari
ini Musa dan Bani Israel dari musuh mereka, maka Musa pun berpuasa.” Maka, NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Saya lebih berhak terhadap Musa dibanding kalian.” Maka, beliau pun beruasa
dan memerintahkan untuk berpuasa (‘Asyura).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
“Dan berpuasa ‘Asyura,
sesungguhnya saya menduga atas Allah bahwa dihapuskannya dosa setahun
sebelumnya.” (HR. Abu Daud No. 2425, Ibnu Majah No. 1738. Syaikh Al
Albani mengatakan shahih dalam Al Irwa, 4/111, katanya: diriwayatkan oleh Jamaah
kecuali Al Bukhari dan At Tirmidzi. Shahihul Jami’ No. 3806)
“Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas
tiga tingkatan: 1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10). 2.
Puasa hari ke-9 dan ke-10. 3. Paling tinggi puasa hari ke-9,
10, dan ke-11. Wallahu A’lam” (Fathul Bari, 6/280. Lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450)
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
Kekasihku (Nabi) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga hal: berpuasa tiga hari setiap bulan,
shalat dua rakaat ketika dhuha, dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Bukhari No. 1981, Muslim No. 721. Lafaz ini adalah milik
Bukhari)
Kapankah tiga hari
itu? Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَمَرَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ الْبِيضَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk berpuasa dalam satu bulannya sebanyak
tiga hari, ayyamul bidh: tanggal
13, 14, dan 15. (HR. An Nasa’i No. 2422, 2423,
lihat juga dalam As Sunan Al Kubranya An Nasa’i No. 2730, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3848, Ibnu Hibban No. 943,
lihat Mawarid Azh Zham’an. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No.673 )
Dari Jarir bin
Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda:
Berpuasa tiga hari
setiap bulannya, adalah puasa sepanjang tahun, dan hari ayyamul bidh yang
terang benderang itu adalah pada hari 13, 14, dan 15. (HR. An Nasa’i No. 2420.
Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam At Ta’liq Ar Raghib, 2/84)
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
ketika hariId:
Dari
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
“Dahulu orang jahiliyah memiliki dua hari
untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke
Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa
bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik
dari keduanya, yakni hari Fithri dan hari Adha.” (HR. An
Nasa’i No. 1556, lihat juga As Sunan Al Kubra No. 1755)
Pada enam hari di
bulan Syawwal kita dianjurkan untuk berpuasa setelah kita menunaikan puasa
Ramadhan. Keutamaannya adalah senilai dengan puasa setahun penuh.
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menyusulnya
dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan dia berpuasa setahun
penuh.” (HR. Muslim No. 1164, At Tirmidzi No. 759, Abu
Daud No. 2433, Ibnu Majah No. 1716, An Nasa’i dalam As Sunan Al KubraNo. 2866, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8214, dan As Sunan As Shaghir No. 1119, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 3908, 3909, 3914, 3915,
Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 228, Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 1945, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1780)
Imam Ibnul Mubarak
memilih berpuasa enam hari itu di awal bulan. Diriwayatkan dari Ibnul Mubarak
bahwa dia berkata: “Berpuasa enam hari bulan Syawal secara terpisah-pisah boleh
saja.” (Lihat Sunan At Tirmidzi komentar hadits No. 759)
Menurut Imam Ahmad:
bahwa itu bisa dilakukan secara berturut-turut dan tidak berturut-turut, dan
tidak ada keutamaan yang satu atas yang lainnya. Menurut Hanafiyah dan
Syafi’iyah adalah lebih utama secara berturut-turut, setelah hari raya. (Fiqhus Sunnah, 1/450)
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah mengatakan:
Keutamaan ini adalah
bagi yang berpuasanya di bulan Syawal, sama saja apakah diawalnya, di tengah,
atau di akhirnya, dan sama pula apakah dengan hari yang berturut atau
dipisah-pisah. Hanya saja lebih utama di awal bulan dan secara bersambung.
Anjurannya berakhir jika sudah selesai bulan Syawal. (Fatawa Darul Ifta Al
Mishriyah, 9/261)
Disebutkan dalam Al
Quran:
Demi
fajar, dan malam yang sepuluh. (QS. Al Fajr (89): 1-2)
(Dan demi malam yang sepuluh):
maksudnya adalah sepuluh hari pada Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan Ibnu
Abbas, Ibnu Az Zubeir, Mujahid, dan lebih dari satu kalangan salaf dan khalaf.(Tafsir
Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah)
“Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding
amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab:
“Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa
dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun (mati syahid).”(HR.
Bukhari No. 969)
Hari-hari ini dengan
tegas oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut sebagai ‘iduna (hari raya kita).
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ
وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ
أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
itu
adalah hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi No. 773, katanya: hasan shahih, Ad Darimi No. 1764, Syaikh
Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim,
tetapi mereka tidak meriwayatkannya.”)
Pada tanggal ini ada
dua peristiwa istimewa yang terjadi sebagaimana disebutkan dalam Al Quran,
yakni perang Badar (disebut dengan yaumul furqaan dan yaumut taqal jam’an – hari bertemunya dua pasukan)
dan turunnya Al Quran, disebut dengan wa maa anzalnaa ‘ala ‘abdinaa (dan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami)
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat
kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah,
rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah
dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan,
Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Al
Anfal (8): 41)
“Berkata Al Hasan bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu: Adalah ‘malam
Al Furqan hari di mana bertemuanya dua pasukan’ terjadi pada 17 Ramadhan.” (Jami’ Al Bayan, 13/562. Muasasah
Ar Risalah)
“
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. dan
tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan.pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. malam itu (penuh) Kesejahteraan
sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr (97): 1-5)
Ada banyak keutamaan Lailatul Qadar, di sini kami sebutkan dua saja:
Pertama, malam turunnya Al Quran. Lalu bagaimana
dengan 17 Ramadhan? Bukankah juga waktu diturunkannya Al Quran? Dan bukankah
keduanya merupakan waktu yang berbeda?
Maka untuk mentaufiq (kompromi) antara dua
keterangan ini (Lailatul Qadar dan 17 Ramadhan), sebagian
ulama mengatakan Al Quran diturunkan dua kali tahap. Tahap pertama
diturunkan dariLauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia pada Lailatul Qadar secara langsung, tahap
selanjutnya, diturunkan dari langit dunia ke kehidupan manusia secara
bertahap selama hampir 23 tahun, yang diawali pada 17 Ramadhan di Gua Hira. Inilah pendapat Ibnu Abbas. Dengan
demikian antara dua ayat ini tidak ada pertentangan sama sekali, justru saling
mendukung. Inilah pendapat yang benar.
Berkata Imam Ibnu Jarir tentang surat Al
Qadar ayat 1:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al Quran ini
secara satu kesatuan menuju langit dunia pada Lailatul Qadar.”
Beliau
mengutip dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
“Seluruh Al Quran diturunkan sekali
turun pada Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan menuju langit dunia, jika
Allah hendak ‘berbicara’ sesuatu di bumi Dia menurunkannya sampai semuanya
(lengkap).”
Beliau
juga mengatakan;
“Allah menurunkan Al Quran pada malam (Al
Qadar) dari langit paling tinggi menuju langit dunia dalam satu kesatuan, lalu
membaginya dalam waktu bertahun-tahun.” Lalu, Ibnu Abbas membaca
ayat: “Maka aku bersumpah
dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.”Artinya: Al Quran turun secara
terbagi-bagi.
Asy
Sya’bi Rahiallahu ‘Anhu mengatakan:
“Allah menurunkan Al Quran pertama kali pada
Lailatul Qadar.”
Dari Asy Sya’bi juga:
“Telah sampai kepada kami bahwa Al Quran
diturunkan dalam satu kesatuan ke langit dunia."(lihat
semua dalam Jami’ Al Bayan, 24/531-532)
Kedua, nilai Lailatul Qadar lebih baik dari seribu
bulan.
Imam Mujahid Rahimahullah berkata tentang ayat tersebut:
“Amal pada malam itu, puasanya, dan qiyamul
lailnya, lebih baik (nilainya) dari seribu bulan.”
Imam Mujahid juga menjelaskan:
“Dahulu pada Bani Israil ada seorang laki-laki
yang shalat malam hingga pagi hari, kemudian dia pergi jihad melawan musuh pada
siang harinya hingga sore, dan dia melakukan itu hingga seribu tahun. Maka
Allah Ta’ala menurunkan ayat ini: (Lailatul
Qadar lebih baik daripada seribu bulan) , qiyamul lail pada malam itu
lebih baik dibanding amal laki-laki tersebut.” (Ibid)
Sementara
Amru bin Qais Al Mala’i Rahimahullah berkata:
“Amal pada malam itu (nilainya) lebih baik
dari amal seribu bulan.” (Imam Abu Ja’far bin
Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Quran,
24/ 533)
Demikian. Sebenarnya
masih banyak waktu-waktu istimewa dalam Islam yang belum kami bahas seperti
peristiwa Isra Mi'raj dan hari kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Insya Allah jika ada
kesempatan akan kami bahas secara khusus.
Wa shallallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi Ajma’in.
Farid Nu’man Hasan/Islam
wb id
0 Komentar