Shilaturrahim berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata (صِلَةٌ) dan (الرَّحِمُ). Kata (صِلَةٌ) adalah bentuk mashdar dari kata (وَصَلَ - يَصِلُ), yang berarti ‘sampai’, ‘menyambung’. Ar Raghib Al Ashfahani berkata, “(الاِ تِّصَالُ) yaitu: menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” [Al Mufradat fie Gharibil Qur-an, hal. 525]

Adapun kata (الرَّحِمُ), Ibnu Manzhur berkata: “(الرَّحِمُ) adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” [Lisanul ‘Arab]

Jadi, ‘shilaturrahim’ artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.

Hukum dan Tingkatan Shilaturrahim

Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwasanya hukum shilaturrahim adalah wajib (secara umum) dan memutuskannya adalah dosa besar. Namun, menyambung shilaturrahim mempunyai beberapa tingkatan, yang paling rendah adalah menyambung kembali hubungan yang telah putus dengan berbicara, atau hanya sekedar mengucapkan salam supaya tidak masuk ke dalam pemutusan hubungan kerabat. Dan itu berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan hajat, ada yang wajib dan ada yang Sunnah. Jika seseorang menyambung sebagian hubungan kerabat, tapi tidak sampai seluruhnya, maka dia tidak bisa dikatakan memutus hubungan kerabat. Tetapi, jika kurang dari kewajaran yang semestinya dari shilaturrahim, maka belum bisa seseorang disebut menyambung.”

Shilaturrahim Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunnah

Allah memerintahkan shilaturrahim dalam kitab-Nya, begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits, diantaranya ialah:

Firman Allah,

(( وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ ))

“Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan shilaturrahim!” [QS. An Nisaa`: 1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَفْشُوا السَّلاَمَ ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ ، وَصَلُّوا باِللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْـجَنَّةَ بِسَلاَمٍ !

“Wahai manusia! Ucapkanlah salam, sambunglah shilaturrahim, berikanlah makan dan shalatlah di malam hari tatkala manusia sedang tidur, maka kalian akan masuk surga dengan selamat.” [HR. At Tirmidzi, no.2485 dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah (3/155)]

Diriwayatkan dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Amr bin ‘Abasah As Sulami berkata, ‘Aku bertanya: ‘Dengan apa Allah mengutusmu?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللهُ لاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ

“Allah mengutusku dengan shilaturrahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan sesuatu pun.” [HR. Muslim, no. 1927]

Bentuk-bentuk Shilaturrahim

Shilaturrahim merupakan ibadah yang agung, mudah dan membawa berkah. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkan shilaturrahim, diantaranya dengan berziarah, memberi hadiah, memberi nafkah, berlaku lemah-lembut, bermuka manis (senyum), memuliakannya dan semua yang manusia itu menganggapnya shilaturrahim. [Tabshiratul Anam bil Huquq fil Islam: 125]

Banyak orang yang mengakrabi saudaranya, setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya, setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah, setelah ia diberi hadiah dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya, misalnya, maka dia tidak mau berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali shilaturrahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali shilaturrahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Bukanlah penyambung (rahim) orang yang hanya membalas (kebaikan) dengan yang setimpal. Tetapi penyambung sesungguhnya adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” [HR. Al Bukhari, no. 5991]

Keutamaan Shilaturrahim

1. Shilaturrahim merupakan sebagian dari konsekuensi iman dan tanda-tandanya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung hubungan shilaturrahim.” [HR. Al Bukhari, no. 5787]

2. Mendapatkan keberkahan umur dan rizki.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya!” [HR. Al Bukhari (10/348), Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693]

3. Shilaturrahim merupakan salah satu penyebab utama masuk Surga dan jauh dari Neraka.

Dari Abu Ayyub Al Anshari, sesungguhnya seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku amalan yang memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka!”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ

“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menyambung silaturahim.” [HR. Al Bukhari (3/208-209), Muslim, no. 13]

4. Shilaturrahim merupakan amalan utama dan paling dicintai Allah.

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amalan apa yang paling dicintai Allah?”
Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah.”
Dia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kemudian menyambung shilaturrahim.” [Shahih At Targhib wa At Tarhib (2522)]

Konsekuensi Shilaturrahim

1. Mendakwahi Kerabat

Dalam Islam, kerabat mendapat prioritas utama untuk didakwahi. Allah Ta’ala berfirman,

(( وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ ))

“Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!” [QS. Asy Syu’araa: 214]

Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah yang akan abadi hingga ke akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang mengorbankan prinsip ini, maka itu adalah persaudaraan semu, yang justru di akhirat kelak akan berbalik menjadi permusuhan. Sebagaimana Allah telah mengisyaratkan,

(( اْلأَخِلآءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ ))

“Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” [QS. Az Zukhruf: 67]

2. Saling Membantu

Orang yang membantu kerabat akan mendapatkan pahala ganda: Pahala Sedekah dan Pahala Shilaturrahim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ.

“Sedekah kepada kaum miskin berpahala sedekah. Sedangkan sedekah kepada kaum kerabat berpahala dobel: Pahala Sedekah dan Pahala Shilaturrahim.” [HR. At Tirmidzi (3/47)]

Berbuat baik kepada kerabat selain berpahala besar juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Karena dengan berbuat baik, menanyakan keadaan, menyertai kebahagiaan dan kesedihan mereka, maka mereka akan mendengar nasehat kita, karena mereka merasakan kasih-sayang dan perhatian dari kita.

3. Saling Memaafkan

Dalam bermuamalah sesama kerabat, timbulnya gesekan, atau riak-riak kecil antar anggota keluarga merupakan suatu hal yang wajar. Sebab, manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari kesalahan. Namun, hal tersebut berubah menjadi sangat tidak wajar, manakala luka yang muncul akibat gesekan tersebut tetap dipelihara dan tidak diobati dengan saling memaafkan.

Betapa banyak keluarga besar yang retak, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal, karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

(( خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ ))

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil!” [QS. Al A’raf: 199]

Namun ada suatu praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang perlu diluruskan. Yaitu: Mengkhususkan Hari Raya ‘Iedul Fitri sebagai momen untuk saling memaafkan. Jika minta maaf tidak dilakukan di hari lebaran, seakan-akan menjadi tidak sah, atau minimal kurang afdhal. Sehingga, maraklah acara ‘halal bihalal’ di Bulan Syawal. Padahal, kita diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru di Hari Lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan ‘Iedul Fithri, lalu keburu dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di akherat!

Keyakinan tersebut juga berimbas pada ucapan Selamat Idhul Fithri yang serasa kurang, jika tidak dibumbui kalimat: Mohon Maaf Lahir Batin. Padahal, dahulu para shahabat radhiyallahu ‘anhum manakala saling mengucapkan selamat di hari raya, redaksi yang diucapkan adalah: “Taqabbalallah minna wa-minkum”. Dan kalimat ini jelas lebih sempurna, sebab tidak semata-mata bermuatan ucapan selamat, namun juga mengandung doa agar Allah menerima amalan orang yang mengucapkan selamat maupun yang diberi selamat.

Jika Kerabat Non-Muslim

Allah Ta’ala berfirman,

(( لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [QS. Al Mumtahanah: 8]

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anha, dia mengatakan, “Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu Perjanjian Damai yang disepakati bersama Orang Quraisy. Maka, aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu!’.” [HR. Al Bukhari, no. 5978 dan Muslim, no. 2322]

Jadi jelaslah, bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru, kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.

Hindari Berjabat Tangan Dengan Wanita yang Bukan Mahram

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ.

“Lebih baik kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, daripada ia memegang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Ath Thabarany (487) dan dikuatkan oleh Al Albany]

Walaupun dengan alasan menjalin hubungan shilaturrahim, praktek di atas tetap tidak bisa dibenarkan. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan sosok yang paling piawai dalam menjalin hubungan shilaturrahim, meski demikian beliau tetap menghindari berjabat tangan dengan wanita non-mahram. Bahkan, dalam momen sesakral bai’at saja, beliau tidak menjabat tangan kaum mukminat. Sebagaimana diceritakan istri beliau, Aisyah radhiyallahu ‘anha:

وَلَا وَاللَّهِ ، مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ ، مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكِ.

“Tidak demi Allah, tangan beliau sekalipun tidak pernah menyentuh tangan wanita saat baiat. Beliau hanya membaiat mereka dengan berkata, ‘Aku telah membaiatmu untuk hal itu.’.” [HR. Al Bukhari]

Ancaman Bagi Para Pemutus Shilaturrahim

1. Tidak akan masuk Surga.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Tidak masuk Surga orang yang memutus shilaturrahim.” [HR. Al Bukhari (5984)]

2. Mendapat siksaan di dunia dan akhirat.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada dosa yang lebih cepat siksaannya di dunia bagi pelakunya, serta diperlambat siksaannya di akhirat kelak, daripada orang yang dhalim dan memutus hubungan shilaturrahim.” [Ash Shahihah (917)]

Faktor-faktor Penyebab Putusnya Shilaturrahim

1. Kebodohan;
2. Minimnya pengetahuan agama;
3. Cinta dunia dan menyibukkan diri dengannya;
4. Dhalim dan jahat terhadap kerabat;
5. Adanya problema-problema rumah tangga.


Oleh: Abu Sahl Feri Al Kadawy - 
Edisi: 05 | Tahun VIII | 2 Syawal 1434 H | 9 Agustus 2013 M/
Buletin Al-Minhaj

0 Komentar