Diam yang Menyelamatkan
Dari
Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan
selamat.”
(HR. Ahmad [6481] sanadnya disahihkan Syaikh Ahmad Syakir, lihat al-Musnad
[6/36] dan disahihkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 21-22 Bab Najatul Insan
bi ash-Shamti wa Hifzhi al-Lisan)
Dari
Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang
membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan
seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang
dilarang Allah.”
(HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])
Dari
Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang
membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam
Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [42])
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang
lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang
tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya.
Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan
dilakukan dengannya.”
(lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam)
Imam
al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin
yang paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta’ala
dengan baik maka dia pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik
pula.”
(lihat Fath al-Bari [1/69] cet. Dar al-Hadits)
Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tidak
ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di atas muka bumi ini sesuatu
yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lisan.” (HR. ath-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir [9/162], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin
Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 26)
Dari
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai
Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau
pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah
yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya
tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah
bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27)
al-Laits
bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang
rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab
seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali.
Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata,
“Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui
mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan
buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32)
al-Fudhail
bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak
berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 37)
al-Fudhail
bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki
dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang
senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah
terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal.
38)
Sebagian orang bijak mengatakan dalam
syairnya:
Kita
mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita
Tidaklah
ada aib di masa kita kecuali kita
Kita
mencerca masa, padahal dia tak berdosa
Seandainya
masa bicara, niscaya dia lah yang ‘kan mencerca kita
Agama
kita adalah pura-pura dan riya’ belaka
Kita
kelabui orang-orang yang melihat kita
(lihat
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat
itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri
lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang
berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan
olehnya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia
berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim
dalam Kitab al-Fitan [2886])
al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya
menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan
tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan
dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Imam
ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini
pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah
sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya.
Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan
barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath
al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Thawus
menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman radhiyallahu’anhu, ada
seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka
ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia
pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang
telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut
campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf
[11/450] sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 46)
al-Hasan
rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari
seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak
penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62). Wallahul
musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
0 Komentar