Musibah, bencana dan malapetaka semuanya berada dalam kuasa Allah Ta’ala. Kehidupan manusia di dunia ini hampir tak pernah sepi dari musibah yang datang silih berganti. Dari yang kecil sampai yang besar, dari yang ringan sampai yang berat, dari yang sedikit hingga yang banyak. Ada musibah yang bersifat umum dan ada yang bersifat individu. Ada musibah yang tidak melibatkan manusia dan adamusibah yang melibatkan manusia-manusi dzalim.

Allah Maha Bijaksana, musibah adalah sunnatullah. Segala yang diperbuat-Nya selalu mengandung hikmah yang agung. Lalu, untuk tujuan apa Allah menurunkan musibah kepada manusia?

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,

“Sungguh Allah tidaklah menimpakan musibah untuk menghancurkan hamba Nya. Dia menimpakan musibah hanyalah untuk menguji apakah hamba bersabar ataukah tidak dan menguji apakah hamba tetap mau menghambakan diri kepada Nya dengan menerima takdir Nya ataukah tidak” (Al Wabil Ash Shoyyib hlm.11).

Sejatinya kesabaran dan ibadah hamba-Nya lah yang ingin Allah Ta’ala lihat, lebih lanjut lagi Allah ingin melihat keselarasan antara amalan hati dan amalan anggota badan seorang hamba disaat musibah melanda.

Allah Ta’ala menyebutkan bahwa cara terbaik untuk meminta pertolongan Allah dalam menghadapi musibah dan berbagai permasalahan hidup yaitu dengan bersabar (amalan hati) dan shalat (amalan badan). Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Allah Ta’ala menyuruh kita untuk sabar dan shalat, nanti Allah yang akan memberikan jalan keluar, Allah yang akan memudahkan kesulitan, Allah yang akan membimbing kepada ketaatan.

Tujuan diturunkannya musibah selain yang kami sebutkan diatas adalah karena Allah ta’ala ingin membedakan orang yang jujur dan orang yang dusta dalam pengakuan imannya. Dunia adalah tempat ujian. Ujian datang diantaranya dalam bentuk musibah yang tidak diinginkan kehadirannya. Orang-orang yang mengaku beriman akan Allah uji, sejauh mana kebenaran dan kejujuran pengakuannya sebagai orang yang beriman. Allah berfiman,

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 1- 3)

Setiap orang yang mengatakan, Aku beriman akan diuji oleh Allah Ta’ala. Jika ia bersabar dan teguh, maka ia berarti jujur dalam imannya. Namun jika ia menyimpang dan berpaling dari agamanya tatkala mendapat ujian, maka ia berarti dusta dalam pengakuannya.

Semoga dengan mengetahui hikmah dan tujuan diturunkannya sebuah musibah kita dapat menghadapi musibah yang melanda kita dengan penuh kesabaran serta kita pun tetap dapat istiqomah menjalankan apa-apa yang telah perintahkan dalam kondisi apapun. Sehingga setelah musibah tersebut berlalu kita menjadi hamba yang jujur dalam keimanan dan ditinggikan derajat kita disisi Allah Ta’ala. Amiin

 ***

Artikel HamalatulQuran.com

 

0 Komentar