Riya’
Dari definisi tersebut jelas bahwa dasar perbuatan
riya’ adalah untuk mencari keridhoan, penghargaan, pujian, kedukan atau posisi
di hati manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya.
Sering keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan
perasaan seseorang dikarenakan begitu halusnya sehingga ada yang mengibaratkan
bahwa ia lebih halus daripada seekor semut hitam diatas batu hitam di tengah
malam yang gelap gulita. Padahal keberadaan riya dalam suatu amal amatlah
berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal tersebut.
Karena itu, ia disebut juga dengan syirik yang
tersembunyi, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Sa’id
al Khudriy berkata,”Rasulullah saw pernah menemui kami dan kami sedang berbincang
tentang al masih dajjal. Maka beliau shalallahu’alaihi wassalam bersabda,”Maukah kalian aku beritahu tentang apa
yang aku takutkan terhadap kalian daripada al masih dajjal?’ kami
menjawab,’Tentu wahai Rasiulullah.’ Beliau saw berkata,’Syrik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan sholat kemudian
membaguskan sholatnya tatkala dilihat oleh orang lain,” (HR. Ibnu Majah dan
Baihaqi).
Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
riya,” (QS. Al ma’un : 4 – 6)
Al Qurthubi mengatakan bahwa makna dari “orang-orang
yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada
manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan
penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai
suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan)
sholat. Hakekat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan
(memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di
hati manusia. (al jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XX hal 439)
Dari Abu Hurairoh bahwa telah berkata seorang penduduk
Syam yang bernama Natil kepadanya,”Wahai Syeikh ceritakan kepada kami suatu
hadits yang engkau dengar dari Rasulullah saw.’ Abu Hurairoh menjawab,’Baiklah.
Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda,’Sesungguhnya orang yang pertama
kali didatangkan pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid dan
dia diberitahukan berbagai kenikmatannya sehingga ia pun mengetahuinya.
Kemudian orang itu ditanya,’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’ Orang itu
menjawab,’Aku telah berperang dijalan-Mu sehingga aku mati syahid.’ Dikatakan
kepadanya,’Engkau berbohong, sesungguhnya engkau berperang agar engkau
dikatakan seorang pemberani dan (gelar) itu pun sudah engkau dapatkan.’
Kemudian Allah memerintahkan agar wajah orang itu
diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang pembaca Al
Qur’an dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun mengetahuinya.
Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku
telah mempelajari ilmu dan mengajarinya dan aku membaca Al Qur’an karena
Engkau.’
Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong
sesungguhnya engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan seorang yang alim
dan engkau membaca Al Qur’an agar engkau dikatakan seorang pembaca Al Qur’an
dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian Allah memrintahkan agar
wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang
yang Allah berikan kepadanya kelapangan (harta) dan dia menginfakkan seluruh
hartanya itu dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun
mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’
Orang itu menjawab,’Aku tidak meninggalkan satu jalan
pun yang Engkau sukai untuk berinfak didalamnya kecuali aku telah menginfakkan
didalamnya karena Engkau.’ Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong
sesungguhnya engkau melakukan hal itu agar engkau disebut sebagai seorang
dermawan dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian orang itu
diperintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim)
Riya ini bisa muncul didalam diri seseorang pada saat
setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghozali mengatakan
bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul
kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain maka hal ini
tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai
dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai dan tidaklah ia menjadi
rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah
payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya.
Namun apabila orang itu membicarakannya setelah amal
itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’ (Ihya Ulumudin juz
III hal 324)
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ itu
muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan
dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah
berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya sebagai faktor
pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar kualitasnya
dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya menyertai suatu ibadah, seperti
seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga
selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali
perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya
lagi. (A Mukhtashar Minhajil Qishidin hal 209)
Adapun beberapa kiat untuk menghilangkan penyakit
riya’, menurut Imam Ghozali adalah :
1. Menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan
terhadap pujian orang lain, menghindari pahitnya ejekan dan anusias dengan
apa-apa yang ada pada manusia, sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Abu Musa
berkata,”Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan
mengatakan,’Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang
dengan gagah berani, orang yang berperang karena fantisme dan orang yang
berperang karena riya’ maka mana yang termasuk dijalan Allah? Maka beliau saw
bersabda,’Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah maka dia lah yang
berada dijalan Allah.” (HR. Bukhori)
2. Membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai
ibadah yang dilakukannya hingga hatinya merasa nyaman dengan pengamatan Allah
swt terhadap berbagai ibadahnya itu.
3. Berusaha juga untuk melawan berbagai bisikan setan
untuk berbuat riya pada saat mengerjakan suatu ibadah.
0 Komentar