Agar Nafkah Keluarga Menjadi Berkah
Agama Islam yang sempurna telah mengatur
dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk
menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan
kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.
Allah berfirman,
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).
Dan ketika sahabat yang mulia, Salman
Al-Farisy radhiallahu ‘anhu ditanya oleh seorang musyrik, Sungguhkah
nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah
mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?
Salman menjawab, ”Benar, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar dan ketika buang air kecil…
Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah
yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan,
semua telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, dengan tujuan
untuk membimbing orang-orang yang beriman agar mereka meraih keberkahan dan
keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pembelanjaan harta mereka
yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah
(harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat
nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun
makanan yang kamu berikan kepada istrimu.”
Disamping itu, mengatur pembelanjaan harta
sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala merupakan cara terbaik untuk
mengatasi keburukan nafsu manusia yang tidak pernah puas dengan harta dan dunia,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya
seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia
pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”
Juga sabda Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang
merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”
Kewajiban mengatur pembelanjaan harta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang
hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang
umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya,
tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta
tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.”
Hadits yang agung ini menunjukkan
kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang
baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di
dunia.
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian
tiga perkara…(di antaranya) idha’atul maal (menyia-nyiakan harta).
Arti “idha’atul maal”
(menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan.
Antara pemborosan dan penghematan yang berlebihan
Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan
harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah)
orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah
antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67)
Artinya, mereka tidak mubazir (berlebihan)
dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan
itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan)
hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap)
adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah
yang moderat (pertengahan).
Juga dalam firman-Nya,
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29)
Imam Asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat
ini, beliau berkata, “Arti ayat ini, larangan bagi manusia untuk menahan
(hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan
keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta)
sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif
(berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath
(melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan
kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang
dianjurkan oleh Allah.
Waspadai fitnah (kerusakan) harta!
Perlu diwaspadai dalam hal yang
berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari
kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah
diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada
fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah
harta.”
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta
secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta
dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Tagaabun: 15).
Kerusakan lain yang ditimbulkan dari
kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi
untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah
merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya,
bagaimanapun berlimpahnya[13], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang
manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan
menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”
Sifat rakus inilah yang akan terus
memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan
mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan
terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan
sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,
“Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari
tiga (kerusakan dan penderitaan), Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang,
keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya.
Dalam hal ini, salah seorang ulama
salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara
berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai
macam penderitaan.”
Zuhud dalam masalah harta
Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah
dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan
menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa
adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut.
Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan
angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya
untuk hAl-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya,
sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, Apakah makna
zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak
panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia
berkata, Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.”
Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud
di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan
menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin
dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu,
dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka
kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak)
daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu.”
Jangan lupa menyisihkan sebagian harta untuk sedekah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan
(sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang
sebaik-baiknya” (QS. Sabaa’: 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya”
yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat.[19]
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan
tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada
saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di
(hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya.”
Arti “tidak berkurangnya harta dengan
sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hAl-hal yang akan merusaknya di
dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat
ganda di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta
tersebut berkurang secara kasat mata.”
Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan
oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara
menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan
kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak
mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk
mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah
kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah
dengan) separuh buah kurma.”
Dalam hadits lain beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh
suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan
engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.”
Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut
dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.”
Nasehat dan penutup
Kemudian yang menentukan cukup atau
tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran
harta yang disediakan, karena berapapun banyaknya harta yang disediakan untuk
pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.
Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal
ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan
selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya.
Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah
kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan
(yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”
Sifat qana’ah ini adalah salah satu
ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan
keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang
yang ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai
agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb”
adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan
pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya.
Lebih daripada itu, orang yang memiliki
sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam
hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak
banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang
secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan
kepadanya.”
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan
memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya
yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah
dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk
memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia
Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
(Sumber: manisnyaiman)
0 Komentar