Lidah itu memang lunak tidak bertulang, oleh karena itu orang yang tidak menguasai ilmu beladiri sekalipun bisa bersilat lidah. Lihatlah ..si fulan yang kemarin mengatakan ‘a’ hari ini berbalik mengatakan ‘b’. si fulan yang lain,  dusta ibarat gula-gula di lidahnya …
Lidah itu tajam laksana pedang bahkan ia adalah pedang bermata dua. Jika luka tersayat pedang tidaklah susah untuk diobati ..tetapi hati yang terluka ditikam kata-kata kemana kan dicarikan penawarnya? Entah berapa banyak persaudaraan terputus ditebas lidah dan tidak sedikit pula dua yang bersahabat jadi musuh bebuyutan karena tikaman lidah.
Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama ketika ditanya siapa muslim yang paling afdhol? Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, “Orang yang selamat kaum muslimin dari lisan dan tanganya”.[1]
Lidah itu berbisa bagai lidah ular yang bercabang dua. Bahkan ia bisa lebih berbahaya dari pada bisa ular.
Lidah juga bisa berobah menjadi binatang buas yang bahkan memangsa tuannya sendiri. Makanya mulutmu harimaumu …
Dari ia Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang dia tidak tahu apakah itu baik atau buruk,ternyata menggelincirkannya ke dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat”.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah, bahwasanya seyogyanya bagi setiap mukallaf hendaklah ia menjaga lisannya dari seluruh ucapan kecuali ucapan yang ada maslahat padanya. Apabila berbicara atau diam sama maslahatnya, maka yang sesuai sunnah adalah memilih diam. Karena terkadang ucapan yang mubah dapat menyeret kepada yang haram atau makruh, bahkan galibnya inilah yang terjadi, dan keselamatan tidak ada yang bisa menyamai harganya”.[2]
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Termasuk baiknya islamnya seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya”.[3]
Jagalah lidahmu duhai saudara
Jangan sampai ia mematukmu, karena dia adalah ular yang bisa
Tidak sedikit orang yang terkubur dibunuh lidahnya
Padahal para pemberani takut menghadapinya.
Seorang muslim, ketika dia hendak berbicara,  ia menimbang apakah berguna atau tidak? Jika tidak berguna dia memilih diam. Jika ternyata berguna dia menimbang lagi ..apakah jika dia diam manfaatnya lebih besar dari pada berbicara?
Imam Asy-Syafi’I berkata, “Jika seseorang berbicara hendaklah ia memikirkan sebelum mengucapkannya, jika nyata maslahatnya ia berbicara dan jika ia ragu, ia diam sampai jelas maslahatnya”.[4]
Beliau juga pernah menasehati sahabat yang juga muridnya, “Hai Robi’, janganlah kamu berbicara dalam perkara yang tidak berguna bagimu. Sesungguhnya jika engkau mengucapkan satu kata, ia akan menguasaimu dan engkau tidak bisa menguasainya”.[5]
Lidah adalah duta hati, jika engkau ingin mengetahui hati seseorang, lihatlah apa yang biasa dia ucapkan. Sesungguhnya itu akan menyingkap apa yang dihatinya, suka atau tidak suka.
Karena lidah itu itu seperti kuali yang mendidih, lidah adalah sendoknya. Perhatikanlah ketika seseorang berbicara, sesungguhnya ia sedang menyendokkan isi hatinya kepadamu, dengan  beragam rasa, pahit, manis, asam, pedas dan lainnya. Sebagaimana engkau bisa merasakan masakan dalam kuali dengan lidah. Engkau juga bisa merasakan hati lawan bicaramu dengan gerak lidahnya ketika bertutur-kata.
Sungguh mengherankan, seseorang bisa dengan mudah menjaga dirinya dari memakan yang haram, berbuat zalim, zina, mencuri, meminum khamar dan dari memandang yang haram, tetapi tidak bisa menahan gerak lidahnya yang lunak tidak bertulang. Bahkan seseorang yang zohirnya ta’at, berwibawa, sopan tetapi dia membiarkan lidahnya mengucapkan kalimat yang dianggapnya sepele padahal satu kalimat itu saja cukup untuk mencampakkannya ke dalam neraka.
Suatu malam, di salah satu villa Malibuanai Padang Panjang, saya berkumpul bersama beberapa ikhwan yang sebagian besarnya masih awwam dalam hal agama.
Lalu secara dadakan, mereka meminta kesediaan saya untuk memberikan sepatah dua kata naseha. Dalam rombongan itu ada seorang pria yang baru mulai belajar mendekatkan diri kepada Allah ..sisa-sisa kelalaian masih membekas diraut wajahnya.
Salah seorang yang tampak agak lebih tua, membuka majelis. Entah apa yang ada dalam benaknya ketika itu, dia berbicara menyindir salah seorang yang hadir – mungkin niatnya baik, ingin mengingatkan si fulan – ia berkata, “Nanti di hari kiamat, pak fulan masuk surga. Saya masih mencari-cari. Saya bertanya, ‘Pak  fulan, mana si fulan’[6]. Pak … menjawab di sebelah’. Saya lihat ke sebelah rupanya di neraka”.
Semua yang hadir gelak terbahak-bahak. Rasa sedih, kasihan, marah membuat saya bungkam menghimpun aksara dan petuah yang semoga berguna bagi diri saya dan yang hadir khususnya pembuka acara yang salah kaprah menghunus lidahnya.
Saya jadi teringat hadits Nabi shollallahu ‘alahi wasallama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jundub rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Seseorang berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak mengampuni si fulan’. Maka Allah berkata, “Siapa orang yang lancang mendahuluiku mengatakan bahwa Aku tidak mengampuni fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan Aku hapus amalanmu”.
Ya Allah …
Satu kalimat saja yang dianggapnya remeh menghapuskan amal-amalnya.
Hilanglah sholat yang dulu dikerjakannya
Lenyaplah puasa yang dulu ditunaikannya
Sirnalah zakat, qiyam dan amal kebajikannya.
Karena kelancangan lidahnya mendahului apa yang menjadi hak Allah.
Bahkan orang yang dipandangnya rendah dan hina, yang dia kira masuk neraka. Malah diampuni Allah Ta’ala.
Dahulu, para salafus sholeh sangat menjaga lidah mereka. Setiap saat mereka meng-hisab kalimat yang mereka ucapkan.
Ibnu Buraidah berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma memegang lidahnya lalu berkata, ‘Katakanlah yang baik engkau pasti beruntung. Atau diamlah dari keburukan engkau pasti selamat’. Maka ditanyakan kepadanya, ‘Kenapa engkau mengucapkan ini?’. Ia menjawab, “Aku dengar, bahwasanya seorang manusia tidak lebih menyesal dan marah kepada anggota tubuhnya selain dari pada lidahnya kecuali orang yang mengucapkan kata-kata yang baik atau menukilkan yang baik dengan lidahnya”.
Sahabat Ibnu Mas’ud bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada Ilah yang diibadati dengan hak melainkan Dia bahwa tidak ada dimuka bumi ini yang lebih patut untuk dipenjarakan dari pada lidahnya.
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang lidahnya terjaga melainkan aku melihatnya pula pada seluruh amalannya. Dan seorang yang rusak tutur katanya melainkan aku melihatnya tampak pada seluruh amalanya”.
Fudhoil bin ‘Iyadh berpetuah, “Barangsiapa yang menganggap perkataannya bagian dari amalnya, niscaya sedikit perkataannya pada sesuatu yang tidak bermanfaat”.
Gerakan anggota tubuh yang paling ringan adalah lidah, namun itu pula yang paling besar bahayanya bagi seorang manusia.
Abu Hatim rahimahullah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal agar berlaku adil kepada telinga dan mulutnya. Dia harus tahu, bahwa ia diberi dua telinga dan satu mulut adalah agar ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Karena kalau dia berbicara bisa jadi dia akan menyesali dan apabila tidak berbicara dia tidak menyesal. Dan dia akan lebih mudah membantah apa yang tidak dia ucapkan dari pada membantah apa yang telah dia ucapkan”.
Dulu, sebagian ulama tidak menerima hadits dari orang-orang yang berbicara atau mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak patut.
Pernah dikatakan kepada  Al-Hakam bin Utaibah, “Kenapa engkau tidak menulis hadits dari Zaadaan?”. Ia menjawab, “Dia banyak bicara”.
Lidah dapat menyebabkan dua petaka besar, jika seseorang selamat dari yang satunya belum tentu selamat dari yang berikutnya.
Dua petaka atau bencana itu adalah : petaka berbicara dan petaka diam.
Seorang yang bungkam dan mendiamkan kebenaran adalah setan yang bisu, bermaksiat kepada Allah, bermuka dua dan menjilat , jika dia tidak mengkhawatirkan bahaya atas dirinya.
Dan orang yang mengucapkan perkataan yang batil adalah setan yang berbicara, bermaksiat kepada Allah dengan kata-kata yang ia ucapkan.
Adapun orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus – semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan mereka – berada di antara dua petaka tersebut. Mereka menahan lidah mereka dari perkataan yang batil dan melepaskannya untuk sesuatu yang mendatangkan manfaat kepada mereka di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak adakan dapatkan salah seorang mereka melontarkan kata-kata yang tidak mendatangkan manfaat apalagi yang bisa membahayakan di akhirat.
Seorang mukmin sepatutnya memiliki tutur-kata yang santun, bersih dan terjaga.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Bukanlah seorang mukmin itu suka mencela, melaknat, berkata yang keji dan kotor”.[7]
Seorang hamba, bisa jadi di hari kiamat datang membawa kebaikan sebesar gunung, lalu dia dapatkan ternyatalidahnya telah memusnahkan semuanya. Atau sebaliknya, dia datang membawa kesalahan yang banyak ternyata lidahnya menghapusnya karena dia banyak berdzikir dan yang berkaitan dengannya.
Ketika seseorang datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama lalu berkata, “Hai Rasulullah nasehatilah aku’”. Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Jika engkau berdiri dalam sholatmu, maka sholatlah seolah-olah itu sholat terakhirmu. Dan janganlah engkau mengucapkan kalimat yang esok membuatmu menyesal dan bulatkanlah bersungguh-sungguhlah memutus harapan terhadap apa yang ada ditengan manusia”[8].
Kalau saja setiap kita memegang tiga wasiat ini; sholat dengan khusyu’, menjaga lidah, dan     menggantungkan harapan hanya kepada Allah, niscaya keberuntungan menyertai langkahnya.
Oleh karena itu ketika Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah, “Apa keselamatan itu?”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, “Tahanlah lidahmu dan jadikanlah rumahmu lapang bagimu, serta tangisilah kesalahanmu”[9].
Semoga Allah menjaga kita semua dari petaka lidah …
Semoga Allah menguatkan kita untuk menyuarakan kebenaran
Semoga Allah menguatkan kita untuk menahan lidah dari kebatilan, amin.


[1] Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ary.
[2] Al-Adzkar Imam An-Nawawi (1/332).
[3] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2318) dari Abu Hurairah.
[4] Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi (1/332).
[5] Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi (1/335).
[6] Maksudnya menyindir  seseorang yang saya sebutkan sebelumnya.
[7] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari di Adabul Mufrod, At-Tirmidzi, Al-Hakim dan lainnya. Dishohihkan Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani. (Ash-Shohihah 1/319 no. 320).
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan dishohihkan oleh Al-Albani (Shohih Al-Jami’ no. 742)
[9] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al-Mubaarok dalam Az-Zuhud (no.134), Ahmad (5/259) dan At-Tirmidzi (2/65) (Ash-Shohihah 2/581).
(Sumber: Telaga Hati)

0 Komentar