Al-Ustadz Muhammad Ikhsan - Tawadhdhu (Audio)
Al-Ustadz Muhammad Ikhsan - 006 Tawadhdhu .mp3 | ||
Found at bee mp3 search engine |
Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena
Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan mengajak kita untuk meninggalkannya.
Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk ke dalam surga.
Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati
dan tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,
“Hamba-hamba Tuhan Yang
Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah
hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik.” (QS.
Al Furqaan: 63)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sombong adalah menolak
kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Allah ta’ala juga berfirman,
“Itulah negeri akhirat yang
Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk menyombongkan diri di
atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)
Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk
adalah orang yang menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa
hebat dengan kemuliaan yang dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat
ilmunya untuk dirinya. Karena barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka
ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati serta
ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus
memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan
meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar
dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk
berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang
lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang
paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak semut), la haula wa la quwwata illa billah.” (lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 75-76 cet.
Darul Kutub ‘Ilmiyah. Sayangnya di dalam kitab ini saya menemukan kesalahan
cetak, seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An Nahl di atas, di sana
tertulis An Nahl ayat 27 padahal yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba
semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih
sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah
ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah
kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah
tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan
berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati
kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan
yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan
kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah
keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada
dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya.
Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau
membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka
bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan
cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah
sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula
halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan
harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat
singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,
“Ini adalah karunia dari
Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”
Kembali beliau memaparkan, “Maka pada
hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang
dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih
dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana
halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya
Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan,
sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya.
Allah ta’ala berfirman,
“Adapun manusia, apabila
Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat
(dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’
Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata,
‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku
lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan
nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan
tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah
kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)
Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra,
“Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah kisah
bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang
bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia
dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan
kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan:
Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al
Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang
berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang
mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun
selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya,
laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk
bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika
dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata
kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!” Lelaki itupun
bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar
memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si
lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah
kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, “Bukankah anda telah menolak
cerita saya dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan
keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia
sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhutidak merasa ridha keutamaan dirinya
disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas
lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia
tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi
inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 Komentar