Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang
At Tauhid edisi
V/23
Oleh: Ammi Nur
Baits
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, Yang
membolak balikkan hati manusia, Raja yang menguasai segalanya. Siapa yang Allah
beri petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan siapa yang disesatkan
maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya…
Tawassul dalam tinjauan bahasa dan Al Qur’an
At tawassul secara bahasa artinya mendekatkan diri dengan sesuatu amal (Al Misbahul Munir, 2/660). Bisa juga dimaknai dengan berharap (ar raghbah) dan butuh
(Lihat Al Mufradat fi
ghoribil Qur’an, 523). Terkadang juga dimaknai
dengan “tempat yang tinggi”. Sebagaimana terdapat dalam lafadz do’a setelah
adzan: “Aati Muhammadanil
wasilata…”. Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa makna “Al Wasilah” pada do’a
di atas adalah satu kedudukan di surga yang hanya akan diberikan kepada satu
orang saja.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.
Dalam Al Qur’an, kata “Al Wasilah” terdapat di
dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”
Dua ayat di atas, terutama surat Al Maidah ayat 35,
sering digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai dalil untuk melakukan tawassul yang terlarang. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dalam menafsirkan
kalimat: “Carilah Al
Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu, sebelum
membahas masalah ini lebih lanjut, akan dibahas tafsir kalimat tersebut dengan
merujuk beberapa pendapat para ahli tafsir dalam rangka meluruskan pemahaman
tentang kalimat di atas.
Tafsir para ulama tentang makna Al wasilah pada surat
Al Maidah ayat 35:
Al Jalalain, “carilah
“Al Wasilah” kepadaNya”, maknanya: “carilah amal ketaatan yang bisa
mendekatkan diri kalian kepada Allah.” (Tafsir Jalalain surat Al Maidah: 35)
Ibnu Katsir menukil tafsir dari Qatadah, “Carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, tafsirnya: “mendekatkan diri kepadanya dengan
melakukan ketaatan dan amal yang Dia ridhai.”
Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
Ibnul Jauzi menyebutkan di antara tafsir yang lain untuk kalimat, “Carilah al Wasilah kepadaNya..” adalah carilah
kecintaan dariNya. (Zaadul
Masir, surat Al Maidah ayat 35).
Sementara Al Baidhawi mengatakan bahwa yang dimaksud: “carilah al wasilah kepadaNya…” adalah mencari sesuatu
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendekatkan diri pada pahala yang Allah
berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.” (Tafsir Al Baidhawi “Anwarut Tanzil” untuk ayat di atas).
Mengingat keterbatasan tempat, hanya bisa dinukilkan
beberapa pendapat dari kitab tafsir. Di samping itu, hampir semua ahli tafsir
menyampaikan pendapat yang sama dengan empat kitab tafsir di atas ketika menafsirkan
ayat tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tafsir
yang benar untuk firman Allah: “Carilah al wasilah kepadaNya…” adalah melakukan segala
bentuk ketaatan yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah dan menjauhi segala
perbuatan maksiat yang bisa menjauhkan diri kita kepada Allah.
Oleh karena itu, sangat tidak benar jika ayat ini
dijadikan dalil untuk melakukan tawassul yang tidak disyari’atkan atautawassul bid’ah. Lebih-lebih jika tawassul tersebut mengandung kesyirikan.
Karena kita menyadari bahwa dua perbuatan di atas, nilainya adalah kemaksiatan
kepada Allah. Maka siapa yang melakukan tawassul dengan tawassulbid’ah atau tawassul yang mengandung kesyirikan justru dia akan semakin jauh dari Allah.
Bukannya dia semakin dicintai Allah tetapi malah justru mendatangkan murka
Allah.
Tawassul yang disyari’atkan
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap
merendahkan diri di hadapan Allah dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Namun di
sana ada beberapa amal khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan
sebagai bentak bertawassul kepada Allah, di antaranya:
1) Melalui asmaul husna
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya …” (QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
2) Membaca shalawat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke
langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al
Albani)
3) Memilih waktu dan tempat mustajab
Ada beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di
antaranya:
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.
4) Meminta orang shaleh yang masih hidup untuk
mendo’akannya
Karena keshalehan dan kedudukan manusia itu
bertingkat-tingkat. Sehingga peluang terkabulkannya do’a seseorang juga
bertingkat-tingkat sebanding dengan kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu,
ada beberapa sahabat yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun ada beberapa hal yang perlu untuk diingat
terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.
5) Amal shaleh
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Ya Rabb kami,
sesungguhnya kami mendengar seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada
Engkau lalu kami beriman…” (QS. Ali Imran:
193).
Pada ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassul ketika berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.
Pada ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassul ketika berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.
Masih banyak bentuk-bentuk tawasul lainnya yang
disyari’atkan, namun mengingat keterbatasan tempat tidak bisa disebutkan.
Secara ringkas, tawassul yang disyariatkan dapat
dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.
Tawassul yang terlarang
Tawassul yang terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
a) Bertawassul dengan sesuatu yang
tidak dijelaskan oleh syariat.
Tawassul jenis ini adalah tawassul yang terlarang, bahkan
terkadang menyebabkan timbulnya perbuatan syirik. Misalnya seseorang bertawassul dengan kedudukan (jaah) Nabi ‘alaihis shalatu was
salam atau kedudukan orang-orang shaleh di sisi Allah.
Karena tawassul semacam ini berarti telah menetapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Karena kedudukan siapa pun di sisi
Allah itu tidak mempengaruhi terkabulnya doa orang lain yang menggunakannya
sebagai sarana tawassul. Kedudukan hanya bermanfaat bagi pemiliknya bukan
orang lain. Kedudukan Nabi ‘alaihis
shalatu was salam di sisi Allah hanya
bermanfaat bagi do’a beliau saja dan bukan do’a orang lain. Maka do’a kita
tidaklah menjadi cepat terkabul hanya gara-gara kita menyebut kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau orang shaleh.
Di antara bentuk tawassul semacam ini adalah tawassul yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada saat membaca shalawat Badr.
Dalam shalawat ini terdapat kalimat, yang artinya: “Kami bertawasul dengan sang pemberi petunjuk,
Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah, yaitu pasukan perang
badar.”
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassuldengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
[Kedua] Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan do’anya menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul ini termasuk kedustaan atas nama syari’at.
Namun, jika bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan keimanannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini dibolehkan. Karena ini termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman kepada nabi.
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassuldengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
[Kedua] Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan do’anya menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul ini termasuk kedustaan atas nama syari’at.
Namun, jika bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan keimanannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini dibolehkan. Karena ini termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman kepada nabi.
b) Tawassul dengan ruh orang shaleh, jin,
dan malaikat
Tawassul jenis kedua ini adalah model tawassul yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik jahiliyah. Mereka meng-agung-kan berhala, kuburan, petilasan
orang-orang shaleh karena mereka yakin bahwa ruh orang shaleh tersebut akan
menyampaikan do’anya kepada Allah ta’ala. Bahkan bentuk tawassul semacam ini merupakan bentuk
kesyirikan yang pertama kali muncul di muka bumi. Kesyirikan yang terjadi pada
kaumnya Nabi Nuh ‘alaihi
salam. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan awal terjadinya kesyirikan di saat beliau menafsirkan
surat Al Baqarah ayat 213. Ibnu Abbas mengatakan, “Jarak antara Adam dan Nuh
ada 10 abad. Semua manusia berada di atas syariat yang benar (syariat tauhid).
Kemudian mereka berselisih (dalam aqidah). Akhirnya Allah mengutus para Nabi
sebagai pemberi peringatan.”
Ibnu Abbas juga memberi keterangan tentang nama-nama
sesembahan kaum Nuh, Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr, Ibnu Abbas
mengatakan, “Mereka adalah orang-orang shaleh di zaman Nuh. Ketika mereka mati,
setan membisikkan kaum Nuh untuk memasang batu prasasti di tempat ibadahnya
orang-orang shaleh tersebut dan diberi nama dengan nama mereka masing-masing.
Kemudian mereka melaksanakannya namun batu itu belum disembah. Sampai ketika
generasi ini (kelompok yang memasang batu) telah meninggal dan generasi
berikutnya tidak tahu asal mula batu itu, akhirnya batu itu disembah.”
Demikian pula, kesyirikan yang dilakukan kaum
musyrikin jahiliyah. Mereka meyakini bahwa Lata, Uzza, Manat, Hubal, malaikat,
jin dan beberapa sesembahan lainnya adalah orang-orang shaleh yang akan
mendekatkan diri mereka kepada Allah. Allah menceritakan jawaban mereka ketika
didakwahi untuk meninggalkan perbuatan tersebut:
Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Mereka semua (ruh orang shaleh itu)
adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka
kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az Zumar:3)
Artinya orang musyrik tersebut masih meyakini bahwa
yang berkuasa mengabulkan do’a adalah Allah. Sedangkan orang-orang shaleh
tersebut hanyalah sarana mereka untuk berdo’a.
Berdasarkan keterangan dari dua ayat di atas, ada satu hal penting yang perlu dicatat bahwasanya menjadikan ruh orang shaleh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah termasuk di antara bentuk beribadah kepada selain Allah yang nilainya syirik besar dan menyebabkan pelakunya menjadi kafir.
Berdasarkan keterangan dari dua ayat di atas, ada satu hal penting yang perlu dicatat bahwasanya menjadikan ruh orang shaleh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah termasuk di antara bentuk beribadah kepada selain Allah yang nilainya syirik besar dan menyebabkan pelakunya menjadi kafir.
Tanya Jawab
• Kita adalah orang kecil yang kedudukannya jauh dari
Allah. Maka kita tidak layak meminta langsung kepada Allah. Sebagaimana rakyat
ketika mau meminta raja maka selayaknya tidak langsung meminta namun melalui
menterinya atau orang yang dekat dengan raja.
Jawab: Orang yang memiliki keyakinan semacam ini berarti menyamakan antara Allah yang Maha Pemurah dan Maha Mengetahui dengan seorang raja yang pelit dan buta dengan keadaan rakyatnya. Maha suci Allah terhadap sikap mereka yang melecehkan ke-Tinggi-an dan ke-Agung-an Allah.
Jawab: Orang yang memiliki keyakinan semacam ini berarti menyamakan antara Allah yang Maha Pemurah dan Maha Mengetahui dengan seorang raja yang pelit dan buta dengan keadaan rakyatnya. Maha suci Allah terhadap sikap mereka yang melecehkan ke-Tinggi-an dan ke-Agung-an Allah.
• Manusia semacam kita banyak berlumuran dosa, maka
tidak pantas meminta langsung kepada Allah. Namun selayaknya melalui perantara
wali Allah baik dari kalangan Malaikat, jin, dan manusia.
Jawab: Pemahaman semacam inilah yang menyebabkan orang-orang jahiliyah tidak mau berdo’a langsung kepada Allah, tetapi melalui perantara ruh-ruh orang shaleh yang mereka wujudkan dalam bentuk prasasti. Bahkan mereka sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah dengan menggunakan sarana dari hasil yang haram. Di antara bukti hal ini adalah:
Jawab: Pemahaman semacam inilah yang menyebabkan orang-orang jahiliyah tidak mau berdo’a langsung kepada Allah, tetapi melalui perantara ruh-ruh orang shaleh yang mereka wujudkan dalam bentuk prasasti. Bahkan mereka sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah dengan menggunakan sarana dari hasil yang haram. Di antara bukti hal ini adalah:
Pertama, sikap mereka ketika mau membangun ka’bah yang roboh akibat banjir. Kita
kenal bahwa umumnya orang kafir Quraisy adalah para saudagar kaya. Namun hasil
kekayaan mereka bercampur antara yang halal dan yang haram. Ketika mereka
hendak merenovasi ka’bah mereka iuran dengan harta yang diyakini murni 100%
halal. Karena harta yang halal itu terbatas maka dana yang terkumpul kurang.
Sehingga mereka tidak bisa merampungkan bangunan ka’bah sebagaimana sedia kala.
Masih ada bagian yang belum dibangun dan kemudian mereka tandai dengan Hijr
(orang mengenalnya dengan hijr Ismail).
Kedua, orang jazirah arab yang bukan penduduk Mekah tidak mau thawaf di ka’bah
dengan pakaian mereka yang sudah digunakan ketika melakukan maksiat. Mereka
hanya bisa thawaf dengan pakaian asli dari penduduk mekah atau kalau tidak
mereka harus thawaf sambil telanjang.
Meskipun demikian, Allah menilai sikap mereka ketika
berdo’a dengan ber-tawassul melalui ruh orang shaleh sebagai bentuk kesyirikan. Mungkinkah kita namakan
perbuatan ini bukan syirik? Ketentuan siapakah yang lebih baik, Allah ataukah
kita? [Ammi Nur Baits]
0 Komentar