Hajr, Pengertian dan Penerapannya
Definisi Hajr
Hajr adalah antonim dari Washl (menyambung)
(lihat Lisaanul ‘arab V/250), Tahaajur (saling
melakukkan hajr) maknanya adalah Taqaathu’ , yaitu saling memutuskan hubungan (Mukhtaar ash-Shihaah hal 288)
Imam Ibnu Hajar berkata “ Hajr adalah seseoarang tidak berbicara dengan
yang lain tatkala bertemu” (Fathul Baari X/492)
Imam al ‘Aini berkata :”Hajr adalah tidak berbicara denagn saudaranya sesama
mukmin tatkala bertemu, dan masing masing dari keduanya berpaling dari yang
lain tatkala berkumpul” (Umdatul Qaari XXII/141)
Hukum asal Hajr adalah dosa
besar
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata “ Hukum
asal meng-hajr sesama muslim adalah haram, bahkan termasuk dosa besar jika
lebih dari tiga hari” (Majmuu Fatawa Ibnu Utsaimin III/16, soal no
4915)
Diantara dalil dalil yang menunjukkan
bahwa hukum asal dari hajr adalah dosa besar adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
“ Barangsiapa yang meng-hajr saudaranya selama setahun
maka ia seperti menumpahkan darah saudaranya tersebut” (HR. Abu Dawud IV/279
dishahihkan oleh syaikh Albani dalam ash Shahihah II/599,no.928)
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr
saudaranya lebih dari tiga hari.1 Barangsiapa
yang meng-hajr lebih dari tiga hari lalu meninggal maka ia masuk neraka (HR.Abu Dawud IV/279, no.4914,
dan dishahihkan oleh Syaikh Albani)
Pantaslah kiranya sikap meng-hajr seorang
muslim lebih dari tiga hari termasuk dosa besar, mengingat hajr sangat
bertentangan dengan prinsip islam yang menyeru kepada persatuan dan
persaudaraan.
Islam adalah nasehat, sebagaimana sabda
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Agama ini adalah nasehat’ ( HR Muslim I/74, no.35)
sedangkan tidak diragukan lagi bahwa hajr
menafikan nasehat sebab dua orang yang saling meng-hajr tidak mungkin bisa
saling menasehati (lihat
Al-Hajr fil Kitaab was Sunnah hal 142) Hajr juga
menghilangkan hak hak seorang muslim sehingga pelakunya tidak memberi salam
kepada selainnya, juga sebaliknya. Jika salah satu dari dua orang yang saling
menghajr menderita sakit, maka yang lain tidak mengunjunginya. Masih banyak
lagi hak hak lainnya yang menjadi terabaikan.
Penerapan hajr menurut
syariat islam
Kendati demikian, terkadang boleh,
disyari’atkan, atau bahkan siwajibkan bagi seorang muslim untuk keluar dari
hukum asal ini, yaitu melakukan hajr dan boikot kepada muslim lainnya, apabila
kondisi memang menuntut demikian. Sebagaimana halnya Nabi shalallahu ‘alaihi
wassalam pernah meng-hajr Ka’b bin Malik dan kedua sahabatnya karena tidak ikut
dalam perang Tabuk tanpa alasan yang syar’i. Begitu juga dengan sikap para
Salaf yang meng-hajr ahli bid’ah dan men-tahdzir (memperingatkan ummat dari)
mereka agar ummat tidak terkena dampak buruk mereka (lihat atsar salaf dalam
hal ini dalam risalah imam as Suyuthi yang berjudul Hijraan Ahlil Bid’ah awiz Zajr bil Hajr)
Namun, perlu diperhatikan, mengingat
penerapan hajr adalah keluar dari hukum asalnya -yaitu terlarang- maka seseorang tidak boleh keluar dengan hukum asal kecuali disertai dengan
dalil dan argumen yang kuat.
Sebab, kaidah syari’at menyatakan bahwa kita tidak boleh keluar dari hukum asal
melainkan dibarengi oleh dalil yang kuat. Terlebih hukum asal tersebut dibangun
diatas dalil yang sangat banyak baik dalil dalil yang menunjukkan hukum asal
wajibnya persaudaraan dan persatuan maupun dalil dalil yang menunjukan hukum
asal haramnya hajr.
Apabila seseorang keluar dari hukum asal
tersebut dengan argumen yang tidak kuat atau bahkan masih berupa prasangka
semata, berarti ia telah melawan sekian banyak dalil yang mendukung hukum asal
tersebut diatas.
Yang sangat menyedihkan, diantara penuntut
ilmu disekitar kita, banyak sekali terjadi praktek hajr yang tidak dibangun diatas
dalil yang jelas. Bahkan banyak penerapan hajr yang hanya dibangun diatas
prasangka belaka, atau diterapkan pada perkara perkara yang sebenarnya tidak
boleh ada pengingkaran apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr. Seperti perkara
perkara yang merupakan masalah ijtihadiyah yang masih diperselisihkan para
ulama.
Lebih menyedihkan lagi, sebagian orang
yang menerapkan hajr hanya karena masalah pribadi, lalu dikait kaitkan dengan
manhaj. Masalah masalah yang menyangkut keduniaan digembor gemborkan dengan label
manhaj. Mereka ini menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsunya. Selanjutnya
syaithan menghiasi amalan mereka tersebut sehingga mereka menyangka bahwa
perbuatan mereka adalah ibadah.
Sebagian lagi menerapkan hajr tanpa kaidah
dan batasan batasan. Tanpa menimbang maslahat dan mudharat, sehingga mereka
terjatuh dalam kemaksiatan dan menyelisihi hukum asal.
Penerapan hajr secara membabi buta, tanpa
menimbang mudharat dan maslahat merupakan suatu kemaksiatan, Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“……atau jika tidak dapat dirajihkan antarakerusakan dan
maslahat maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan
hajr, mengingat keumuman sabda
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam “Tidak halal bagi seorang muslim untuk
meng-hajr (memboikot) saudaranya lebih dari tiga hari” (HR. Al Bukhari V/2302,
no.5879)
Terlebih lagi jika penerpan
hajr tersebut jelas jelas menimbulkan kerusakan, fitnah, terhambatnya dakwah,
dan lainnya, maka tentunya lebih haram lagi.
Maka, benarlah penilaian
Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah tentang kebanyakan praktek hajr yang tidak sesuai
dengan syari’at, sementara mayoritas pelakunya mnenyangka bahwa mereka telah
berbuat ketaatan kepada Allah ta’ala dengan praktek hajrtersebut tetapi
hakekatnya karena mengikuti hawa nafsu. Beliau berkata “ Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya
atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan maka dia telah
keluar dari hajr yang syar’i. Betapa
banyak manusia melakukan apa yang diinginkan nafsunya, tetapi mereka mengira
bahwa mereka melakukannya karena Allah ta’ala.” (Majmuu’ Fataawa syaikh Ibnu
‘Utsaimin (III/17, soal no. 385)
Praktek hajr yang tidak sesuai syari’at
efeknya sangat berbahaya bagi pelakunya karena hukum asal hajr adalah dosa
besar. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin menerapkan
hajr maka hendaknya ia benar benar diatas bayyinah bahwa ia memang berhak untuk
melakukan hajr.
Allahu ta’ala a’lam
————————————————————–
1.Imam
An Nawawi berkata dalam al Minhaaj (XVI/117), “ Para ulama menyatakan bahwa
hadits tersebut menunjukkan diharamkannya hajr lebih dari tiga hari diantara
kaum muslimin juga menunjukkan bolehnya hajr selama tiga hari…..Mereka
menyatakan bahwasanya di maafkannya hajr selama tiga hari karena seorang
manusia diciptakan dengan tabiat mudah marah, akhlak yang buruk dan yang
semisalnya. Maka dimaafkan menghajr selama tiga hari agar sifat tersebut hilang
disalin dari Lerai Pertikaian Sudahi
Permusuhan hal 11-16 oleh Abu abdil Muhsin Firanda Ibnu ‘Abidin, penerbit
Pustaka Cahaya Islam, bogor cetakan kedua agustus 2006 dengan sedikit
penyesuaian
(Sumber: nurussunnah)
0 Komentar