Pentingnya Menjaga Lisan
"Tiada
suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir." (Qaf:
18).
Sesungguhnya lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang
amat besar dan salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan. Bentuknya kecil,
namun perannya besar dalam ketaatan dan kemaksiatan. Bahkan kekufuran dan
keimanan tidak bisa diketahui dengan jelas kecuali dengan persaksian lisan,
padahal keduanya merupakan puncak dari ketaatan dan kemaksiatan.
Lisan merupakan salah satu ayat-ayat Allah.
Dia berfirman,
"Lidah
dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (Al-Balad: 9-10).
Lisan adalah raja atas semua anggota tubuh. Semua tunduk dan patuh kepadanya.
Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuh ikut lurus. Jika ia bengkok, maka
bengkoklah semua anggota tubuh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Apabila
anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada
lisan, seraya berkata, 'Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami,
karena kami mengikutimu, apabila kamu lurus, maka kami pun lurus, dan apabila
kamu bengkok, maka kami pun bengkok'."(HR. at-Tirmidzi dan
Ahmad).
Seorang manusia bisa masuk surga disebabkan lisannya.
Apabila benar lisannya, maka dia akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila
salah maka dia mendapatkan dosa. Lisan manusia bisa mewujudkan dzikir, tasbih,
dan tahlil, atau membaca al-Qur`an, atau ucapan amar ma'ruf nahi munkar,
berbuat baik kepada manusia, dan mengajak mereka kepada kebaikan. Lisan adalah
salah satu nikmat Allah jika dipergunakan oleh hamba untuk kebaikan, petunjuk,
dan keshalihan.
Lisan memang senang mengembara ke tempat yang
tak bertujuan, lahannya luas tiada terbatas dan bertepi. Ia memiliki peran yang
besar di dalam lahan kebajikan, dan juga di dalam keburukan. Maka barangsiapa
yang mengumbar lisannya dengan bebas dan tidak mau mengendalikannya, maka setan
akan menggiringnya ke dalam segala sesuatu yang dia ucapkan. Lalu menyeretnya
ke jurang kehancuran, dan selanjutnya jatuh ke dalam kebinasaan.
Tidak seorang pun dapat selamat dari
tergelincirnya lisan kecuali orang yang mau mengendalikannya dengan tali kekang
syariat, sehingga lisannya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang memberi
manfaat di dunia dan akhirat. Ketika Aisyah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Cukuplah bagi Anda bahwa
Shafiyah itu orangnya begini, begini." Maksudnya tubuhnya pendek. Maka
Nabi bersabda kepadanya, "Engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang
bila dicampur dengan air laut niscaya dia akan merubahnya." (HR. Abu Dawud).
Imam an-Nawawi yang wafat pada tahun 676 H. berkata,
"Ketahuilah bahwa setiap mukallaf harus menjaga lisannya dari semua
perkataan kecuali perkataan yang maslahat di dalamnya telah jelas. Dan ketika
perkataan itu mubah, sedangkan dalam meninggalkannya terdapat maslahat maka disunnahkan
untuk menahan diri darinya. Karena terkadang perkataan yang mubah akan terseret
menuju keharaman atau kemakruhan, bahkan ini menjadi hal yang umum di dalam
adat kebiasaan, sedangkan keselamatan maka tidak ada sesuatu pun yang
menyamainya."
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Saya berkata, "Hadits yang disepakati keshahihannya
ini merupakan nash yang sharih, bahwasanya tidak seharusnya seseorang berbicara
melainkan apabila perkataan tersebut baik, yaitu yang tampak jelas maslahatnya,
dan ketika ragu tentang kejelasan maslahatnya, maka janganlah berbicara."
Al-Imam asy-Syafi'i berkata, "Apabila
seseorang ingin berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu sebelum
berbicara, apabila telah jelas maslahatnya, maka dia berbicara, dan apabila
ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas maslahatnya." Al-Imam
asy-Syafi'i juga pernah berpesan kepada muridnya ar-Rabi', "Wahai
ar-Rabi', janganlah kamu berbicara tentang perkara yang tidak penting bagimu,
karena apabila kamu berbicara satu kata, maka ia akan memilikimu, sedangkan
kamu tidak dapat memilikinya."
Dan kami meriwayatkan dalam Shahih
al-Bukhari: Dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda,
"Barangsiapa yang
memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) kejahatan lisan yang berada di
antara dua tulang rahangnya, dan kejahatan kemaluan yang berada di antara kedua
kakinya, niscaya aku akan memberikan jaminan surga kepadanya." (HR. al-Bukhari).
Dan kami meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata, "Tidak ada sesuatu pun yang lebih berhak lama dipenjarakan
daripada lisan."
Dan yang lainnya berkata, "Perumpamaan lisan adalah seperti hewan buas, apabila kamu tidak mengikatnya, niscaya dia akan memusuhimu." Dan kami meriwayatkan dari al-Ustadz Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam Risalahnya yang terkenal, dia berkata, "Diam pada sesuatu yang telah selamat adalah tindakan utama. Sedangkan diam pada waktunya merupakan sifat (baik) seseorang sebagaimana berbicara pada tempatnya merupakan sebaik-baik tabiat." Dia melanjutkan, "Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq Rahimahullah berkata,
Dan yang lainnya berkata, "Perumpamaan lisan adalah seperti hewan buas, apabila kamu tidak mengikatnya, niscaya dia akan memusuhimu." Dan kami meriwayatkan dari al-Ustadz Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam Risalahnya yang terkenal, dia berkata, "Diam pada sesuatu yang telah selamat adalah tindakan utama. Sedangkan diam pada waktunya merupakan sifat (baik) seseorang sebagaimana berbicara pada tempatnya merupakan sebaik-baik tabiat." Dia melanjutkan, "Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq Rahimahullah berkata,
'Siapa yang berdiam diri dari
kebenaran, maka dia adalah setan yang bisu'."
Apabila Hari Kiamat tiba, maka perkataan dan perbuatan
seorang hamba telah dihitung. Tiba-tiba salah seorang hamba mengingkari hal itu
seraya berkata, "Wahai Rabb, saya tidak melakukan ini, saya tidak
mengatakan ini." Maka malaikat yang menyaksikan hal itu berkata, "Aku
tidak menerima seseorang menjadi saksi selain diriku sendiri." Lalu Allah
menutup mulutnya, dan semua anggota tubuhnya bersaksi dan memberikan kesaksian
perbuatannya. Tangan menuturkan sesuatu yang dia kerjakan, kaki melaporkan perjalanannya,
mata memberikan kesaksian yang dia lihat, telinga memberikan kesaksian yang
didengarnya, dan kulit memberikan kesaksian yang dirasakannya. Saat itulah sang
hamba berduka cita dan terkejut serta berkata kepada anggota tubuhnya,
"Celaka dan binasalah kalian, karena kalianlah aku membela diri."
Inilah anggota-anggota tubuh yang tidak lain adalah anggota tubuhmu, akan
memberikan kesaksian atas kesalahanmu di Hari Kiamat. Allah Ta’ala berfirman,
"Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh
Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga
apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka
menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan
mereka berkata kepada kulit mereka, 'Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami.'
Kulit mereka menjawab, 'Allah yang telah menjadikan segala sesuatu pandai
berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dialah yang
menciptakan kamu pada kali yang pertama, dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan'.
Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran,
penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak
mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan." (Fushshilat: 19-22).
Ketahuilah bahwa ghibah termasuk perbuatan yang paling buruk dan paling
tersebar di antara manusia, sehingga mereka tidak selamat darinya melainkan
hanya segelintir orang saja. Batasan ghibah yaitu engkau memperbincangkan
saudaramu dengan sesuatu yang jika hal itu didengar atau sampai ke telinganya,
maka dia merasa tidak senang, baik itu mengenai badan, nasab, perilaku,
perbuatan, ucapan atau dalam urusan agamanya, bahkan sampai pakaian yang dia
kenakan, rumah tinggal, dan kendaraannya.
Di dalam Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa`i: dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Di dalam Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa`i: dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Apakah kalian mengetahui, apakah ghibah
itu?" Mereka menjawab, "Allah dan RasulNya lebih mengetahui."
Beliau bersabda, "Kamu menyebutkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang
tidak disenanginya." Dikatakan kepada beliau, "Bagaimana pendapatmu
bila pada saudaraku memang benar ada yang aku ucapkan?" Beliau bersabda,
"Jika pada dirinya benar ada yang kamu ucapkan, maka kamu telah melakukan
ghibah terhadapnya, dan jika pada dirinya tidak terdapat sesuatu yang kamu
ucapkan, maka kamu telah melakukan tuduhan dusta terhadapnya." (HR. Muslim).
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Ketika saya diangkat
(pada peristiwa isra' mi'raj), maka saya melewati kaum yang memiliki kuku dari
tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya, 'Siapakah mereka
wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Mereka adalah kaum yang memakan daging manusia
(maksudnya melakukan ghibah), dan merusak kehormatan mereka'." (HR. Abu Dawud).
Dalam hadits ini digambarkan dengan jelas
bahwa Allah menghukum orang yang melakukan ghibah. Mereka digambarkan sebagai
orang yang memakan daging manusia. Di akhirat nanti, mereka mencakar wajah dan
dada mereka.
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan ijma'
kaum muslimin. Dan telah jelas dalil-dalil yang sharih tentang keharamannya
dari al-Kitab, as-Sunnah dan ijma'.
Allah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala berfirman,
Al-Humazah bermakna, orang yang mengumpat manusia dan dia
menyakiti mereka dengan ketidakhadiran mereka, sedangkan al-Lumazah bermakna
orang yang mencela manusia dan menyakiti mereka dengan kehadiran mereka. Dan
mungkin al-Humazah adalah orang yang menyakiti manusia dengan perkataannya,
sedangkan al-Lumazah adalah orang yang menyakiti mereka dengan perbuatan dan
tindak-tanduknya, dan dalam riwayat lain dikatakan maknanya adalah selain hal
tersebut yang masih mencakup makna-makna ini.
Dia juga berfirman,
Dia juga berfirman,
Kata-kata yang manis memang terbukti bisa menghipnotis
manusia. Ia bisa menghanyutkan manusia dalam buaiannya. Pendapat ini bertitik
tolak pada fitrah manusia yang selalu ingin dihargai atau bahkan dipuji. Tutur
kata yang manis juga bisa memotivasi orang lain untuk berbuat baik dan
meninggalkan perbuatan mungkar.
Sebuah kritikan yang tajam, namun dibungkus
dengan tutur kata yang halus lebih bisa diterima oleh orang yang dikritik. Dan
sebaliknya, penyampaian dakwah kebenaran secara vulgar dan kasar kepada umat
manusia terkadang akan berakibat sebaliknya. Metode tersebut tidak hanya kurang
efektif, bahkan bisa memunculkan sikap antipati dari objek dakwah. Allah
memberikan dalam kelembutan sesuatu yang tidak diberikanNya dalam kekerasan.
Inti dakwah Islam adalah saling nasihat
menasihati, nasihat bagi Allah, Rasulullah, para pemimpin, dan kaum muslimin.
Dalam sebuah hadits disebutkan, "Tolonglah saudaramu yang zhalim dan dizhalimi." Dan cara menolong saudara yang zhalim adalah
menasihatinya agar tidak melakukan kezhaliman dan kemungkaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya kelembutan,
tidaklah terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah ia
terlepas dari sesuatu melainkan ia akan menodainya." (HR. Muslim).
Allah Ta’ala berfirman,
Makna ayat di atas adalah bahwa Allah mendengar
makhluk-Nya, dan melihat serta mengawasi perbuatan mereka serta memberi
masing-masing balasan sesuai dengan usahanya di dunia.
Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Musa al-Asy'ari,
Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Musa al-Asy'ari,
"Saya bertanya, 'Wahai
Rasulullah, siapakah muslim yang paling utama?' Rasulullah menjawab, 'Seorang
muslim, yang mana kaum muslimin selamat dari (bahaya) lisan dan
tangannya'." (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
[Sumber: Dikutip dari Buku Kumpulan Khutbah
Jum’at Pilihan Setahun Edisi ke-2, Darul Haq Jakarta by alsofwah.or.id].





0 Komentar