Sikap Hati-hati dan Menjauhi Harta Haram
Siapa yang tidak kenal Abu
Bakar Ash-Shiddiq Radliallahu ‘anhu? Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia terkenal karena memiliki banyak keutamaan dan sifat-sifat
mulia dalam Islam. Sampai-sampai sahabat Umar bin al-Khattab Radliallahu ‘anhu
memujinya, dengan mengatakan,
“Seandainya keimanan Abu Bakar
Radliallahu ‘anhu ditimbang dengan keimanan penduduk bumi (selain para Nabi dan
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka sungguh keimanan beliau
Radliallahu‘anhu lebih berat dibandingkan keimanan penduduk bumi.”(HR. Ishaq bin Rahuyah dalam Musnadnya No. 1266, dan Al-Baihaqi
dalam Syu’abul iman No. 36 dengan sanad yang sahih)
Kisah berikut mengambarkan
tingginya keutamaan Abu Bakar Radliallahu‘anhu dan besarnya kehati-hatiannya
dalam masalah halal dan haram.
Dari ‘Aisyah Radliallahu
‘anha bahwa ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radliallahu ‘anhu memiliki seorang budak
yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar Radliallahu ‘anhu (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran
tersebut. Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), dan Abu Bakar
Radliallahu ‘anhu memakannya. Budak itu berkata kepada beliau, “Apakah Anda
mengetahui apa yang Anda makan ini?” Abu Bakar Radliallahu ‘anhu balik
bertanya, “Makanan ini (dari mana)?”Budak itu menceritakan, “Dulu di zaman
Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang
kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu
orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, dia memberikan (hadiah)
kepadaku makanan yang Anda makan ini. ”Setelah mendengar pengakuan budaknya itu
Abu Bakar memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan
semua makanan dalam perut beliau.” (HR.
Bukhari No. 3629)
Kisah tersebut
menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau
sangat berhati-hati menjaga anggota badan beliau dari mengonsumsi makanan yang
tidak halal. Inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya (lihat Bahjatun Nadzirin, 1/649).
PELAJARAN
Beberapa pelajaran berharga dapat kita petik dari kisah tersebut.
Beberapa pelajaran berharga dapat kita petik dari kisah tersebut.
Pertama, keutamaan Abu
Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu bukan hanya pada amal perbuatan anggota
badan beliau. Tapi karena sempurnanya keimanan dan ketakwaan dalam hati beliau.
Imam Abu Bakar bin ‘Ayyaasy (seorang ulama generasi tabi’in) mengatakan,
“Tidaklah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu mengungguli kalian dalam
kebaikan dengan semata-mata banyak berpuasa dan sholat, akan tetapi karena
sesuatu kesempurnaan iman dan takwa di dalam hati beliau.” (Miftah Daris
Sa’adah, Ibnul Qoyim, 1/82)
Kedua, berhati-hati
dalam masalah halal dan haram mencerminkan ketakwaan seorang hamba. Karena
dengan sifat ini, kebaikan agama seseorang akan selalu terjaga dengan izin
Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa
yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum jelas status halal atau
haramnya), maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Dan
barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar tersebut, maka berarti
dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram (dilarang dalam Islam) …” (HR.
Muslim, No. 1599)
Ketiga, termasuk
bentuk aplikasi sifat wara’ adalah tidak memakan makanan dan menerima pemberian
dari seseorang yang diketahui dengan yakin hartanya bersumber dari penghasilan
yang haram, kecuali jika dia punya sumber penghasilan yang halal (hartanya
bercampur dengan barang haram) (lihat Bahjatun Nazhirin, 1/649).
Keempat, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram dan neraka lebih layak
baginya.” (HR. Ahmad, 3/321, Daarimi
No. 2776, dan disahihkan Al-Albani)
Kelima, haramnya dan
tercelanya praktek perdukunan dalam segala bentuknya. Serta larangan mendatangi
apalagi mempercayai para dukun dan tukang ramal. Karena hal ini termasuk dosa
yang sangat besar bahkan bisa membawa kepada kekafiran. Rasululah
Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, termasuk dukun dan tukang sihir),
kemudian bertanya tentang sesuatu
hal kepadanya, maka tidak akan diterima sholat orang tersebut selama empat
puluh malam (hari).” (HR. Muslim No. 2230)
Dalam hadis lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Ahmad, 2/429 dan Hakim, 1/49, dan disahihkan Al-Albani)
Dalam hadis lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Ahmad, 2/429 dan Hakim, 1/49, dan disahihkan Al-Albani)
Keenam, maksud
praktek perdukunan dalam kisah ini adalah meramalkan kejadian yang akan datang
tanpa adanya bukti-bukti yang membenarkan. Ini termasuk perbuatan yang membawa
kepada kekafiran, karena perkara yang gaib tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah Ta’ala. Allah berfirman, yang artinya, “Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bilamana
mereka akan dibangkitkan.” (QS
An-Naml: 65)
Ketujuh, upah/harga
dari pekerjaan yang dilarang dalam agama adalah haram dan tidak boleh dimakan. “Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wa sallam melarang hasil (penjualan) anjing, upah (dari)
pelacuran dan upah/hadiah (dari praktek) perdukunan (HR. Bukhari No. 2122 dan Muslim No. 1567).
(Sumber: nashirus sunnah
blog)
0 Komentar