Umrah Berkali-kali
Suatu ibadah agar diterima
oleh Allah, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus
dibarengi dengan mutaba’ah (mengikuti
contoh Rasul). Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi
juga harus mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah
yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syariat.
Jumlah
Umrah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
Sepanjang hidupnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
umrah sebanyak 4 kali.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
umrah sebanyak empat kali. (Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga
dari Ji’ranah, dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji
beliau.” (HR. Tirmidzi, no 816 dan dan Ibnu Majah no. 2450)
Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada
perbedaan pendapat (Zadul Ma’ad, 2:89).
Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga
umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para
sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon),
mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum
musyrikin menghalangi kaum muslimin untuk memasuki kota Mekah. Akhirnya,
terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu pointnya, kaum muslimin harus
kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan.
Kemudian, kaum muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal
dengan umrah qadhiyyah atau qadha pada tahun 7 H. Selama tiga hari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di
Mekah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
haji wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa‘dah.
Alasan
Untuk Tidak Berumrah Berkali-kali
Pertama. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini.
Pertama. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini.
Kedua. Tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari
para sahabat yang menyertai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam haji wada’ yang beranjak keluar menuju tanah yang
halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Mereka
juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah.
Ketiga. Umrah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil
untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota
Mekah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H.
Selama tujuhbelas hari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berada di sana.
Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku
Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi
mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin
mengerjakan umrah dari Ji’ranah.
Dalam hal ini beliau tidak keluar dari Mekah ke
Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari
Mekah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.
Keempat. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, juga para sahabat
-kecuali Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekah, meski
setelah Mekah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari
tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum
Mekah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam.
Padahal thawaf di Ka’bah sudah masyru’ (disyariatkan)
sejak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus, dan bahkan sejak Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Mereka mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih
dahulu. Hal ini mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara
yang disyariatkan bagi penduduk Mekah (orang yang berada di Mekah) adalah
thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram
untuk mengerjakan umrah.
Tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul (yang nilainya
kurang) dibandingkan amalan yang lebih afdhal (nilainya
lebih utama) dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk melakukan
umrah berulang-ulang saat berada di Mekah (Majmu’ al Fatawa, 26:256. 273).
Kelima. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara
Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai
penyerta adalah, sa’i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah
thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekah terlebih
dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak
diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan).
(Majmu’
Fatawa, 26:262).
Keenam. Pada penaklukan kota Mekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di
Mekah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar
ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu
bahwa itu masyru’ (disyariatkan)?
Tentu saja tidak mungkin!
LEBIH
BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Ibadah yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah menambahkan:
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Ibadah yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah menambahkan:
“Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah
bagi orang yang berada di Mekah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi
oleh orang-orang yang memahami sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunah
khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi salaf dan
tokoh-tokohnya.”
Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah
Allah tetapkan di dalam kitab-Nya, berdasarkan keterangan Nabi-Nya.
Diringkas dari: Majalah-Assunnah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
0 Komentar