TOMBO ATI LIMO PERKARANE
Tombo ati iku limo perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
Mugi-mugi gusti Allah nyembadani
Mugi-mugi gusti Allah nyembadani
Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perbanyaklah
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perbanyaklah
Salahsatunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Gusti Allah mencukupi
Moga-moga Gusti Allah mencukupi
ANDA tentu sangat familiar dengan
lirik Tombo Ati, lalu siapa
sebenarnya penciptaTombo Ati?
Pertanyaan itu terjawab oleh kitab Shifat
Ash Shafwah karya Ibnu Al Jauzi (597 H) ulama besar madzhab Hanbali,
di mana saat beliau menulis biografi Yahya Bin Muadz Ar Razi ulama yang wafat
di Naishabur tahun 258 H, beliau menuliskan bahwa Yahya menyampaikan 5 obat
hati (lihat, Shifat Ash Shafwah, 4/92).
Dalam kitab itu Yahya bin Muadz menyatakan, ”dawa’ al qalb khomsah asya’”
(obat hati ada 5 perkara), yang dalam bahasa Jawa, ”tombo ati iku limo
perkarane” (obat hati ada 5 perkara).
Dari lima perkara itu Yahya bin Muadz merinci, ”qira’ah Al Qur’an bi at tafakkur” (membaca Al Qur’an dengan
perenungan), yang dalam bahasa Jawa, ”moco Quran angen-angen sakmaknane”.
Yang kedua adalah “khala’ al bathn”
(kosongkan perut atau berpuasa), yang dalam bahasa jawa, ”weteng siro kudu
luwe”.
Obat hati selanjutnya adalah, ”qiyam
al lail” kalau dijawakan menjadi, ”sholat wengi lakonono”.
Selanjutnya adalah, ”tadzarru’ indza
as sahr” (merendahkan diri saat
waktu sahur) kalau dalam versi Jawa, ”dzikir wengi ingkang suwe”.
Sedangkan obat hati yang terakhir yang disebut Yahya bin Mu’adz adalah, ”mujalasah as shalihin” (bermajelis dengan
orang-orang shalih) yang dalam versi Jawanya, ”wong kang sholeh kumpulono.”
Jika demikian, maka hal ini merupakan salah satu indikator bahwa ajaran
Walisongo bersumber kepada ulama terdahulu, tinggal generasi Islam saat ini, tidak hanya bisa manghafal, namun juga
dituntut untuk mengamalkan lima perkara yang amat dianjurkan itu, hingga hati
menjadi tenang. [] (Hidayatullah)
0 Komentar