Pengertian Ilmu Yang Bermanfaat
Adapun yang per¬tama, seperti firman Allah Ta’ala,
قُل هَل يَستَوِى الَّذينَ يَعلَمونَ وَالَّذينَ لا يَعلَمونَ ۗ
“… Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang meng¬etahui dengan orang-orang yang tidak meng¬etahui?’…” [Az-Zumar: 9]
Firman Allah Ta’ala,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلّا هُوَ وَالمَلٰئِكَةُ وَأُولُوا العِلمِ قائِمًا بِالقِسطِ ۚ لا إِلٰهَ إِلّا هُوَ العَزيزُ الحَكيمُ
“Allah menyatakan bah¬wasanya tidak ada ilah (yang ber¬hak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang ber¬ilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang ber¬hak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaper¬kasa lagi Mahabijak¬sana.” [Ali ‘Imran: 18]
Firman Allah Ta’ala.
وَقُل رَبِّ زِدنى عِلمًا
“… Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tam¬bah¬kanlah ilmu kepadaku.’” [Thaahaa: 114]
Firman Allah Ta’ala.
إِنَّما يَخشَى اللَّهَ مِن عِبادِهِ العُلَمٰؤُا۟
“… Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]
Firman Allah Ta’ala ten¬tang kisah Adam dan pelajaran yang didapat¬kan¬nya dari Allah ten¬tang nama-nama segala sesuatu, dan mem¬beritahukan¬nya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun ber¬kata, “Mahasuci Eng¬kau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Eng¬kau ajarkan kepada kami; sesung¬guh¬nya Engkau-lah Yang Maha Meng¬etahui lagi Mahabijak¬sana.’” [Al-Baqarah: 32]
Dan firman Allah Ta’ala meng¬enai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa ber¬kata kepadanya,
قالَ لَهُ موسىٰ هَل أَتَّبِعُكَ عَلىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمّا عُلِّمتَ رُشدًا
“Boleh¬kah aku meng¬ikutimu supaya kamu meng¬ajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” [Al-Kahfi: 66]
Ini semua adalah ilmu yang ber¬man¬faat. Dan ter¬kadang Allah Ta’ala meng¬abarkan keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka tidak ber¬man¬faat. Ini adalah ilmu yang ber¬man¬faat pada hakikat¬nya, namun pemilik¬nya tidak meng¬am¬bil man¬faat dari ilmunya itu. Allah Ta’ala berfirman,
مَثَلُ الَّذينَ حُمِّلُوا التَّورىٰةَ ثُمَّ لَم يَحمِلوها كَمَثَلِ الحِمارِ يَحمِلُ أَسفارًا ۚ بِئسَ مَثَلُ القَومِ الَّذينَ كَذَّبوا بِـٔايٰتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لا يَهدِى القَومَ الظّٰلِمينَ
“Per¬um¬pamaan orang-orang yang diberi tugas mem¬bawa Taurat, kemudian mereka tidak mem-bawanya (tidak meng¬amal¬kan¬nya) adalah seperti keledai yang mem¬bawa kitab-kitab yang tebal. Sangat¬lah buruk per¬um¬pamaan kaum yang men¬dus¬takan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak mem¬beri petun¬juk kepada orang-orang yang zalim.” [Al-Jumu’ah: 5]
Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan ter¬cela, yaitu ilmu sihir seperti firman-Nya,
وَما يُعَلِّمانِ مِن أَحَدٍ حَتّىٰ يَقولا إِنَّما نَحنُ فِتنَةٌ فَلا تَكفُر ۖ فَيَتَعَلَّمونَ مِنهُما ما يُفَرِّقونَ بِهِ بَينَ المَرءِ وَزَوجِهِ ۚ وَما هُم بِضارّينَ بِهِ مِن أَحَدٍ إِلّا بِإِذنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمونَ ما يَضُرُّهُم وَلا يَنفَعُهُم ۚ وَلَقَد عَلِموا لَمَنِ اشتَرىٰهُ ما لَهُ فِى الءاخِرَةِ مِن خَلٰقٍ ۚ وَلَبِئسَ ما شَرَوا بِهِ أَنفُسَهُم ۚ لَو كانوا يَعلَمونَ
“… Mereka mem¬pelajari sesuatu yang men¬celakakan dan tidak mem¬beri man¬faat. Dan sung¬guh mereka sudah tahu barang¬siapa mem¬beli (meng¬gunakan sihir) itu, niscaya tidak men¬dapat keun-tungan di akhirat. Sung¬guh sangat buruk per¬buatan mereka yang men¬jual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka meng¬etahui.” [Al-Baqarah: 102]
Dan firman Allah Ta’ala,
يَعلَمونَ ظٰهِرًا مِنَ الحَيوٰةِ الدُّنيا وَهُم عَنِ الءاخِرَةِ هُم غٰفِلونَ
“Mereka hanya meng¬etahui yang lahir (tam¬pak) dari kehidupan dunia; sedangkan ter¬hadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” [Ar-Ruum: 7]
Karena itulah As-Sunnah mem¬bagi ilmu men¬jadi ilmu yang ber¬man¬faat dan ilmu yang tidak ber-man¬faat, juga meng¬an¬jurkan untuk ber¬lin¬dung dari ilmu yang tidak ber¬man¬faat dan memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang ber¬man¬faat. [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah meng¬atakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang ber¬man¬faat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ter¬kadang ada ilmu yang tidak ber¬asal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedok¬teran, ilmu hitung, ilmu per¬tanian, dan ilmu per¬dagangan.” [2]
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah meng¬atakan, “Ilmu yang ber¬man¬faat menun¬jukkan pada dua hal.
Per¬tama, meng¬enal Allah Ta’ala dan segala apa yang men¬jadi hak-Nya ber¬upa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini meng¬haruskan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawak¬kal kepada Allah serta ridha ter¬hadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.
Kedua, meng¬etahui segala apa yang diridhai dan dicin¬tai Allah ‘Azza wa Jalla dan men¬jauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya ber¬upa keyakinan, per¬buatan yang lahir dan bathin serta ucapan. Hal ini meng¬haruskan orang yang meng¬etahuinya untuk ber¬segera melakukan segala apa yang dicin¬tai dan diridhai Allah Ta’ala dan men¬jauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu meng¬hasilkan hal ini bagi pemilik¬nya, maka inilah ilmu yang ber¬man¬faat. Kapan saja ilmu itu ber¬man¬faat dan menan¬cap di dalam hati, maka sung¬guh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tun¬duk, men¬cin¬tai dan meng¬agungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengan¬nya sehingga hal itu men¬jadikan¬nya qana’ah dan zuhud di dunia.” [3]
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah meng¬atakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala mes¬kipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang ber¬buat dur¬haka kepada Allah Ta’ala mes¬kipun ilmunya banyak.” [4]
Per¬kataan beliau rahimahullaah menun¬jukkan bahwa ada orang yang menun¬tut ilmu dan meng-ajar¬kan¬nya, namun ilmu ter¬sebut tidak ber¬man¬faat bagi orang ter¬sebut karena tidak mem¬bawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah meng¬atakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, pen¬jelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pem¬bahasan ten¬tang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam ter¬kemuka yang meng¬ikuti jejak mereka…” [5]
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah ber¬kata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muham¬mad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain mereka bukanlah ilmu.” [6]
Beliau juga meng¬atakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, pen¬jelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pem¬bahasan ten¬tang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam ter¬kemuka yang meng¬ikuti jejak mereka…” [7]
Imam Muham¬mad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah meng¬atakan, Seluruh ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka men¬dalami ilmu agama.
Ilmu adalah yang ter¬can¬tum di dalam¬nya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyam¬paikan hadits kepada kami)’. Adapun selain itu hanyalah was¬was (bisikan) syaitan. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mem¬berikan per¬um¬pamaan kepada kita meng¬enai orang yang faham ten¬tang agama Allah Ta’ala, ia mem¬peroleh man¬faat dari ilmunya dan mem¬berikan man¬faat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mem¬berikan per¬um-pamaan orang yang tidak menaruh per¬hatian pada ilmu agama, dengan kelalaian¬nya itu mereka men¬jadi orang yang merugi dan bangkrut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber¬sabda, “Per¬um¬pamaan petun¬juk dan ilmu yang Allah meng¬utusku dengan¬nya lak¬sana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menum¬buhkan tanaman dan rerum¬putan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah mem¬beri manusia man¬faat darinya sehingga mereka meminum¬nya, meng¬airi tanaman, dan ber¬ladang dengan¬nya. Hujan itu juga meng¬enai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tan¬dus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menum¬buhkan tanaman. Itulah per¬um¬pamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia men-dapat man¬faat dari apa yang Allah meng¬utus aku dengan¬nya. Juga per¬um¬pamaan atas orang yang tidak menaruh per¬hatian ter¬hadap¬nya. Ia tidak menerima petun¬juk Allah yang dengan¬nya aku diutus.” [9]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang mem¬bawa ajaran agama Islam, beliau meng¬um¬pamakan¬nya dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kon¬disi manusia sebelum diutus-nya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering, ger¬sang dan tan¬dus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mem¬bawa ilmu yang ber¬man¬faat meng¬hidupkan hati-hati yang mati seba¬gaimana hujan meng¬hidupkan tanah-tanah yang mati.
Kemudian beliau meng¬um¬pamakan orang yang men¬dengarkan ilmu agama dengan ber¬ba¬gai tanah yang ter¬kena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang meng¬amalkan ilmunya dan meng¬ajar¬kan¬nya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat mem¬beri man-faat bagi dirinya, kemudian tanah ter¬sebut dapat menum¬buhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat mem¬beri man¬faat bagi yang lain.
Di antara mereka ada juga orang yang meng¬habiskan wak¬tunya untuk menun¬tut ilmu namun dia tidak meng¬amal¬kan¬nya, akan tetapi dia meng¬ajar¬kan¬nya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang ter¬genangi air sehingga manusia dapat meman¬faat¬kan¬nya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah mem¬perin¬dah seseorang yang men¬dengar perkataan-perkataanku dan dia meng¬ajar¬kan¬nya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang men¬dengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyam¬paikan¬nya kepada orang lain, maka per-um¬pamaan¬nya seperti tanah yang ber¬air atau tanah yang ger¬sang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikum¬pul¬kan¬nya per¬um¬pamaan bagian per¬tama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama ber-man¬faat. Sedangkan dipisah¬kan¬nya bagian ketiga disebabkan ter¬cela dan tidak bermanfaat.
Jadi, per¬um¬pamaan hadits di atas ter¬diri dari 2 (dua) kelom¬pok. Per¬um¬pamaan per¬tama telah dijelaskan sebelum¬nya. Sedangkan per¬um¬pamaan kedua, bagian per¬tamanya adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak meng¬amalkan dan tidak meng¬ajar¬kan¬nya. Kelom¬pok ini dium-pamakan dengan tanah tan¬dus seba¬gaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak menaruh per¬hatian ter¬hadap¬nya.” Atau dia ber¬paling dari ilmu sehingga dia tidak bisa meman¬faat¬kan¬nya dan tidak pula dapat mem¬beri man¬faat kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disam-paikan kepadanya pengetahuan ten¬tang agama Islam, tetapi ia meng¬ing¬kari dan kufur kepadanya. Kelom¬pok ini dium¬pamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air meng¬alir di atas¬nya, tetapi tidak dapat meman¬faat¬kan¬nya. Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan tidak peduli dengan petun¬juk Allah yang aku diutus dengannya.”
Ath-Thibi ber¬kata, “Manusia ter¬bagi men¬jadi dua”.
Per¬tama, manusia yang meman¬faatkan ilmu untuk dirinya namun tidak meng¬ajar¬kan¬nya kepada orang lain.
Kedua, manusia yang tidak meman¬faatkan ilmu bagi dirinya, namun ia meng¬ajarkan kepada orang lain.”
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori per¬tama masuk dalam kelom¬pok per¬tama. Sebab, secara umum man¬faat¬nya ada walaupun ting¬katan¬nya ber¬beda. Begitu juga dengan tanaman yang tum¬buh, di antaranya ada yang subur dan mem¬beri man¬faat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia meng¬er¬jakan hal-hal yang wajib dan mening¬galkan yang sun¬nah, sebenar¬nya dia ter¬masuk kelom¬pok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan sean¬dainya dia mening¬galkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh meng¬am¬bil ilmu darinya.
Orang semacam ini ter¬masuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang yang tidak menaruh per¬hatian ter¬hadap¬nya.” [10]
[Disalin dari buku Menun¬tut Ilmu Jalan Menuju Surga “Pan¬duan Menun¬tut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pener¬bit Pus¬taka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Per¬tama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 11–13), karya Imam Ibnu Rajab rahimahullaah, ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, cet. I, Daar ‘Ammar, th. 1406 H.
[2]. Majmuu’ al-Fataawaa (VI/388, XIII/136) dan Madaarijus Saalikiin (II/488)
[3]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 47).
[4]. Al-Bidaayah wan Nihaayah (V/237).
[5]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).
[6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadh¬lih (I/769, no. 1421) dan Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 42).
[7]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).
[8]. Diiwaan Imam asy-Syafi’i (hal. 388, no. 206), dikum¬pulkan dan disyarah oleh Muham¬mad ‘Abdur¬rahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 79) dan Mus¬lim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari.
[10]. Lihat Fat-hul Baari (I/177).
Sum¬ber : www.almanhaj.or.id
0 Komentar