Terlintas sebuah kata di lisan seorang laki – laki paruh baya,” Kalau kau kaya, kau bisa berbuat apa saja…! Kau bisa bersedekah, kau bisa berinfaq, kau bisa haji dank au bisa melakukan apa saja sesukamu. Makanya, kejarlah duniamu, maka dunia dan akhiratmu akan engkau dapat…!!!
Sebuah kalimat yang sepintas ketika kita pandang, maka dia adalah kalimat yang benar – benar memotivasi kita untuk mengejar dunia, mengejar kekayaan dan harta (uang) yang berlimpah. Bagaimana tidak, karena dari harta dan uang itulah kita akan menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari kalimat itulah terlintas sebuah makna, bahwa dunia adalah segalanya…sesuatu yang mutlak harus kita dapatkan sebanyak mungkin yang kita mampu. Dan pula ia menjadi sebuah bahtera untuk mengarungi kehidupan menuju akhirat…juga syarat utama membahagiakan manusia.
Tak bisa dipungkiri, kalimat senada dengannya banyak disematkan pada pemuda – pemudi yang hendak menikah. Baik dari kalangan laki – laki yang hendak memilih calon, terlebih dari kalangan wanita yang diberi “kebebasan” memilih laki – laki mana yang hendak ia jadikan pemimpin untuk dia dan anak – anaknya kelak. Dan banyak di antara wanita dan walinya, yang lebih memilih laki – laki “kaya” untuknya.
Lantas demikiankah seharusnya…?
……….
Dunia Ini Hanya Sebentar.
Kalimat di atas seringkali didengungkan oleh khatib jumat, penceramah, murobbi’ (bagi yang merasa), mentor serta asatidzah (ustadz – ustadz) yang memberikan kajian – kajian keislaman bertemakan dunia. Entah karena saking seringnya disampaikan hingga kita menjadi menganggapnya sesuatu yang tak perlu dipahami, atau karena saking lemahnya pemahaman dan iman kita untuk meresapinya hingga kita tak bias mengambil hikmah secuil-pun dari ucapan itu.
Ya…dunia ini memang sementara. Dalam banyak ayat, Allahu ta’ala menerangkan tentang ke-sementara-an kehidupan di dunia.
 “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir” [QS. Yunus : 24]
Dalam ayat lain dijelaskan…
 “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” [QS. Al-Kahfi : 45-46].
Kedua ayat tersebut secara dhahirnya menjelaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah sebentar. Amatlah singkat…Dan segala sesuatu yang ada di dunia ini, akan kita dapati ia akan cepat berlalu. KALAU BUKAN KITA YANG MENINGGALKAN DUNIA, TENTU DUNIA-LAH YANG AKAN MENINGGALKAN KITA. CEPAT ATAU LAMBAT…
Dalam sebuah hadits, diriwayat dari ‘Auf bin ‘Amr radliyallahu’anhu, bahwa dikisahkan ada salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru pulang dari sebuah daerah dan membawa harta jizyah. Kabar ini didengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang – orang anshar setelah shalat shubuh. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…
“Bergembiralah dan harapkanlah untuk memperoleh apa-apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas diri kalian. Namun yang aku takutkan atas diri kalian adalah akan dibentangkannya dunia pada kalian, sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian. Maka kalian akan berlomba-lomba sebagaimana mereka dulu telah berlomba-lomba (untuk mendapatkannya). Lalu kalian akan binasa sebagaimana mereka dulu telah binasa”[HR. Al-Bukhari no. 3158 dan Muslim no. 2961]
Sungguh tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata melainkan dengan wahyu dari Allah. Apa yang beliau katakan, tentu akan terjadi. Dan amatlah benar titah beliau yang menunjukkan bahwa ketika manusia melai disibukkan dengan kekayaan dan harta, berlomba – lomba mendapatkan dunia, maka kebinasaanlah yang mereka dapatkan… sebagaimana binasa-nya kaum – kaum terdahulu.
Dan sungguh pada akhir zaman ini, tidaklah kita melihat manusia kecuali ia berlomba mendapatkan kekayaan, mengejar – ngejar harta dan menumpuk pundi – pundi rupiah. Tak jarang di antara mereka, yang demi mendapatkan itu semua, mereka rela mengorbankan ‘aqidah, rela menggadaikan ibadah, lalai dari shalat berjama’ah serta tak menyisakan waktu sedikitpun untuk menuntut ilmu yang jauuuh lebih wajib baginya…!!! –semoga Allah melindungi kita dari yang demikian-
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah duduk pada suatu hari di atas mimbar. Kami pun duduk di sekitar beliau. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya yang aku takutkan atas diri kalian setelahku adalah dibukakannya bunga (kemegahan) dunia dan perhiasannya kepada kalian” [HR. Al-Bukhari no. 1465 dan Muslim no. 1052]
Sungguh ini merupakan peringatan bagi siapa saja yang dibukakan dunia kepadanya dari buruknya akibat dan firnah yang ditimbulkannya. Maka janganlah ia merasa tenang dengan kemegahannya. Dan berlomba-lomba dalam urusan dunia, akan menyeret manusia kepada kerusakan agama dan dunia. Karena harta itu sangat menggiurkan hingga jiwa pun suka dan mencarinya. Ia merasa nikmat dengannya. Maka sadarlah saudara – saudariku…
……….
Bagaimana Ketika Diberi Kekayaan Oleh Allah Ta’ala…?
Jika suatu ketika, Allah ta’ala memberikan harta yang berlebih kepada kita maka pantas bagi kita untuk berlindung atas fitnah-nya yang melalaikan. Selalu berharap agar Allah ta’ala menjaganya dari keburukan harta itu. Dan banyak – banyak bersyukur atas karunia Allah ta’ala atas harta yang barakah. Yaitu harta yang dengannya manusia berinfaq, yang dengannya seorang anak membahagiakan orang tua, yang dengannya seorang suami memberi nafkah istri, yang dengannya seorang ayah memberi makan anak – anaknya, yang dengannya seseorang berinfaq untuk thalabul ‘ilmi / para pencari ilmu agama, yang dengannya seseorang membangun masjid, yang dengannya seseorang pergi berhaji dan segala amalan baik lainnya.
Tentu keberadaan harta yang barakah ini haruslah mendatangkan rasa syukur dengan memanfaatkannya untuk menambah pundi – pundi bekal akhirat. Dan janganlah keberadaan harta, membuat seseorang congkak, merasa besar, merasa sombong dan merasa aman dari adzab Allah ta’ala. Tsumma na’udzubillahi min dzaliiik…
……….
Mana Yang Lebih Utama, Miskin Bersabar atau Kaya Bersyukur…?
Dalam masalah ini telah banyak terjadi kesimpang-siuran pendapat di antara manusia. Namun beberapa ulama’ telah menjelaskan dengan gamblang dan memberikan sebuah arahan yang patut kita simak.
Beliau Imam Ibnu Qayyim berkata, “Menurut ahli tahqīq dan ma`rifah, masalah pengutamaan tidaklah terkait dengan hal kefakiran (kemiskinan) dan kekayaan (itu sendiri). Namun terkait dengan amal, kondisi dan realitas. Yang dipermasalahkan pun pada dasarnya tidak tepat. Sebab pengutamaan di sisi Allah terkait dengan taqwa dan hakikat iman, bukan dengan kefakiran atau kekayaan.” [Dikutip dari Kitab Madarijus Salikin, Bab II, hal 442]
Hal ini sebagaimana Allah ta’ala berfirman…
Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 13)
Dan Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Terdapat orang-orang kaya di kalangan para Nabi dan orang-orang terdahulu yang (jelas) lebih afdhal dibandingkan mayoritas orang miskin. (Begitu juga sebaliknya,) di kalangan mereka terdapat orang-orang miskin yang (jelas) lebih afdhal dibandingkan mayoritas orang kaya. Dan orang-orang yang sempurna menunaikan dua posisi, (yakni) mereka melaksanakan syukur dan sabar secara sempurna, seperti halnya kondisi Nabi beserta Abū Bakr dan `Umar.”[Disalin dari kitab Majmū` al-Fatāwā, Bab XI, hal. 120.]
Imam Ibnu Qayyim berkata, “Masing-masing dari orang faqir dan kaya harus menunaikan sabar dan syukur. Sebab, iman itu terbagi dua, separuh dalam sabar dan separuh lagi dalam syukur. Bisa jadi bagian kesabaran orang kaya itu lebih banyak, karena ia bersabar padahal ia mampu (untuk melakukan hal yang terlarang), sehingga kesabarannya lebih sempurna dibandingkan orang yang sabar karena ketidakmampuan (yakni orang faqir). Dan (demikian pula sebaliknya), bisa jadi kesyukuran orang faqir itu lebih sempurna.” [Disalin dari kitab Madāriju's Sālikīn, Bab. II, 442-443.]
Imam al-Munāwi berkata, “Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tersebut tidak menyibukkan dan melalaikannya dari Allah, sementara berapa banyak orang faqir yang kefakirannya menyibukkan dan melalaikannya dari Allah.” [Disalin dari kitab Faidhu'l Qadīr, Bab II, hal. 288]
Amatlah benar penjelasan para ulama’. Sungguh betapa kekayaan dan kemiskinan hanyalah sebuah titipan Allah. Yang selalu dilihat dan dinilai oleh-Nya adalah takwa kita kepada-Nya, seberapa ikhlash amalan kita, dan seberapa sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam amalan – amalan yang kita kerjakan…
Semoga yang sedikit ini menjadikan manfaat bagi saya dan teman – teman pembaca…
(Sumber: alfitrah’s)

0 Komentar