Hukum Memperingati Perayaan Isra` Mi’raj
Penulis:
Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc
Isra’ dan mi’raj merupakan tanda
kekuasaan Allah yang menunjukkan atas kebenaran kerasulanMuhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan
keagungan kedudukannya di sisi Tuhannya, selain juga membuktikan atas kehebatan
Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya atas semua makhluk. Firman Allah
subhaanahu wa ta’ala :
subhaana alladzii asraa bi’abdihi
laylan mina almasjidi alharaami
ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu
linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru
“MahaSuci Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah
kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda
tanda (kebesaran) kami, sesungguhnya Dia adalah MahaMendengar lagi Maha
Melihat” (QS.
Al Isra’: 1).
*****************
KHUTBAH PERTAMA
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan
ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki nama-nama yang husna dan
sifat yang sempurna. Dialah satu-satunya yang mengatur alam semesta dan
memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan
tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada sayyidul awwaliin wal akhiriin, Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum
muslimin yang berjalan di atas sunnahnya.
Jamaah jum’ah yang semoga dirahmati Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama
kita. Yaitu, dimulai dengan bersemangat dalam mempelajarinya sehingga kita bisa
menjalankannya di atas ilmu. Tentu saja dalam mempelajarinya harus dengan
bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu para ulama yang berjalan di
atas jalan generasi terbaik di umat ini, para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Karena merekalah generasi yang menyaksikan secara langsung bagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan agama ini. Sehingga
memahami agama Islam dengan pemahaman mereka adalah satu-satunya jalan yang
diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun jalan-jalan lainnya yang
menyelisihi pemahaman para sahabat dalam memahami agama Islam adalah pemahaman
yang menyimpang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa jalan
yang diridhai-Nya hanya satu sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga kalian akan berpecah-belah dari jalan-Nya (yang lurus), itulah yang diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (Al-An’am: 153)
“Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga kalian akan berpecah-belah dari jalan-Nya (yang lurus), itulah yang diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin
untuk mengikuti bimbingan para ulama yang mengikuti jejak para sahabat dalam
memahami agama ini. Para ulama adalah orang-orang yang telah dijadikan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penjaga agama ini. Mereka menyibukkan diri
untuk menyampaikan kepada kaum muslimin ajaran Islam yang dibawa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengingatkan dari ajaran-ajaran yang
menyimpang dari jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena
itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang yang tidak tahu
tentang masalah agama untuk bertanya kepada para ulama.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Maka bertanyalah kalian kepada ulama jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
“Maka bertanyalah kalian kepada ulama jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Hadirin jamaah jum’ah rahimakumullah,
Usaha para ulama dalam menjelaskan ajaran-ajaran yang menyimpang merupakan amalan yang patut disyukuri oleh seluruh kaum muslimin. Karena mengada-adakan amalan ibadah yang tidak disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan datangnya musibah serta cobaan yang menimpa kaum muslimin. Di samping itu, agama ini adalah agama yang sempurna. Sehingga orang yang mengada-adakan ajaran baru yang tidak disyariatkan secara tidak langsung dia menganggap agama belum sempurna. Bahkan Al-Imam Malik rahimahullahu, salah seorang imam Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan:
“Barangsiapa memunculkan bid’ah dan dia memandang bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan ajaran Islam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.’ Sehingga apa saja yang pada hari itu (di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bukan termasuk ajaran Islam maka pada hari ini (juga) bukan termasuk ajaran Islam.” (Lihat kitab Al-I’tisham karya Asy-Syathibi)
Usaha para ulama dalam menjelaskan ajaran-ajaran yang menyimpang merupakan amalan yang patut disyukuri oleh seluruh kaum muslimin. Karena mengada-adakan amalan ibadah yang tidak disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan datangnya musibah serta cobaan yang menimpa kaum muslimin. Di samping itu, agama ini adalah agama yang sempurna. Sehingga orang yang mengada-adakan ajaran baru yang tidak disyariatkan secara tidak langsung dia menganggap agama belum sempurna. Bahkan Al-Imam Malik rahimahullahu, salah seorang imam Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan:
“Barangsiapa memunculkan bid’ah dan dia memandang bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan ajaran Islam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.’ Sehingga apa saja yang pada hari itu (di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bukan termasuk ajaran Islam maka pada hari ini (juga) bukan termasuk ajaran Islam.” (Lihat kitab Al-I’tisham karya Asy-Syathibi)
Jamaah jum’ah rahimakumullah,
Di antara perbuatan bid’ah yang telah
diperingatkan oleh para ulama untuk ditinggalkan adalah mengkhususkan amalan-amalan ibadah tertentu pada bulan Rajab. Seperti
mengkhususkan hari ke-27 pada bulan tersebut untuk berpuasa dan shalat pada malam harinya, serta shalat yang diistilahkan
dengan shalat ar-ragha`ib, yaitu shalat yang dilakukan pada
malam Jumat pertama di bulan Rajab yang sebelumnya didahului dengan puasa hari
Kamis. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan ketika
beliau ditanya tentang shalat tersebut: “Amalan tersebut adalah bid’ah yang
sangat jelek, yang merupakan kemungkaran yang sangat besar dan mengandung
banyak kesalahan, maka harus ditinggalkan dan berpaling darinya serta
mengingkari orang yang menjalankannya.” Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu, beliau mengatakan: “Adapun shalat yang (disebut) ar-ragha`ib
maka (amalan tersebut) tidak ada landasannya dan (amalan tersebut) hanya
diada-adakan….”
Hadirin rahimakumullah,
Amalan bid’ah lainnya yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada bulan Rajab adalah perayaan Al-Isra` wal Mi’raj. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu, dalam salah satu risalahnya menyebutkan:
Amalan bid’ah lainnya yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada bulan Rajab adalah perayaan Al-Isra` wal Mi’raj. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu, dalam salah satu risalahnya menyebutkan:
“…Dan
malam yang peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj tersebut terjadi, tidak tersebut dalam
hadits-hadits yang shahih tentang kapan waktu terjadinya. Tidak pula
(disebutkan kepastian waktunya) di bulan Rajab ataupun di bulan lainnya.
Seluruh hadits yang menyebutkan tentang waktu terjadinya peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj tersebut adalah hadits yang tidak datang
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tidak shahih), sebagaimana keterangan
para ulama ahlul hadits.Dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang
mengetahui hikmah di balik dilupakannya orang-orang (dari kepastian waktu terjadinya
peristiwa tersebut). Seandainya pun ada hadits shahih yang menunjukkan tentang
waktu terjadinya peristiwa tersebut, maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk
mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu pada hari tersebut, dan tidak boleh pula
bagi mereka untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai sebab untuk melakukan
perayaan….”
Hadirin rahimakumullah,
Dari keterangan para ulama tersebut dan
juga ulama yang lainnya, maka jelaslah bahwa apa yang menjadi kebiasaan kaum
muslimin berupa mengkhususkan hari-hari tertentu di bulan Rajab untuk berpuasa dan shalat adalah amalan yang tidak
pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya. Begitu pula mengkhususkan bulan Rajabterutama pada malam yang ke-27 untuk memperingati
perayaan Al-Isra` wal Mi’raj adalah
perbuatan bid’ah. Yang demikian tadi karena beberapa sebab:
1. Peristiwa Isra` Mi’raj ini meskipun
benar-benar terjadi, namun tidak ada dalil shahih yang menunjukkan waktu
terjadinya. Sehingga mengkhususkan bulan Rajab atau malam ke-27 dari bulan
tersebut adalah penetapan yang tidak berdasarkan dalil.
2. Seandainya pun peristiwa tersebut diketahui waktu terjadinya, tetap tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikannya sebagai hari perayaan dengan memperingatinya. Hal ini karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin serta para sahabat yang lainnya. Sehingga tidak boleh bagi siapapun untuk membuat syariat baru yang tidak pernah dilakukan oleh mereka.
3. Kenyataan yang ada, bahwa pada acara tersebut banyak dilakukan perbuatan kemungkaran. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilantunkannya shalawat-shalawat yang mengandung makna syirik, nyanyian-nyanyian dengan alat musik, serta kemungkaran-kemungkaran lainnya.
2. Seandainya pun peristiwa tersebut diketahui waktu terjadinya, tetap tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikannya sebagai hari perayaan dengan memperingatinya. Hal ini karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin serta para sahabat yang lainnya. Sehingga tidak boleh bagi siapapun untuk membuat syariat baru yang tidak pernah dilakukan oleh mereka.
3. Kenyataan yang ada, bahwa pada acara tersebut banyak dilakukan perbuatan kemungkaran. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilantunkannya shalawat-shalawat yang mengandung makna syirik, nyanyian-nyanyian dengan alat musik, serta kemungkaran-kemungkaran lainnya.
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin
yang telah mengetahui keterangan ulama tentang masalah ini untuk meninggalkan
amalan tersebut, meskipun banyak di antara kaum muslimin yang mengerjakannya.
Karena seorang muslim harus mengingat bahwa agama ini diambil dari Al-Qur`an
dan hadits yang shahih, bukan diambil dari anggapan baik akal manusia.
KHUTBAH KEDUA
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berusaha sekuat kemampuan
kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta bersyukur
kepada-Nya atas berbagai nikmat yang dikaruniakan kepada kita. Terlebih nikmat
diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat ini dan
diberikannya kepada beliau keistimewaan dan mu’jizat serta kemuliaan yang tidak
diberikan kepada para nabi sebelumnya. Di antaranya adalah mu’jizat yang berupa
peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj.
Saudara-saudaraku kaum muslimin
rahimakumullah,
Kewajiban seorang muslim adalah mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang disebutkan di dalam Al-Qur`an maupun hadits-hadits yang shahih. Sehingga dia menjadi orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajaran Islam dan tidak membuat amalan ibadah baru yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Namun sungguh sangat disayangkan, yang kita saksikan justru sebaliknya. Sebagian kaum muslimin menjadikan peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj sebagai landasan untuk mengada-adakan perayaan yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sedangkan pelajaran penting yang bisa diambil dari acara tersebut yaitu kewajiban shalat lima waktu malah diabaikan. Sehingga kita dapatkan banyak di antara orang-orang yang merayakan acara perayaan tersebut, justru malas menjalankan shalat secara berjamaah. Atau bahkan dia tidak menjalankannya kecuali pada waktu-waktu tertentu saja. Maka sungguh yang demikian ini menunjukkan terjatuhnya mereka kepada perangkap setan yang selalu berusaha menyesatkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kewajiban seorang muslim adalah mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang disebutkan di dalam Al-Qur`an maupun hadits-hadits yang shahih. Sehingga dia menjadi orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajaran Islam dan tidak membuat amalan ibadah baru yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Namun sungguh sangat disayangkan, yang kita saksikan justru sebaliknya. Sebagian kaum muslimin menjadikan peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj sebagai landasan untuk mengada-adakan perayaan yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sedangkan pelajaran penting yang bisa diambil dari acara tersebut yaitu kewajiban shalat lima waktu malah diabaikan. Sehingga kita dapatkan banyak di antara orang-orang yang merayakan acara perayaan tersebut, justru malas menjalankan shalat secara berjamaah. Atau bahkan dia tidak menjalankannya kecuali pada waktu-waktu tertentu saja. Maka sungguh yang demikian ini menunjukkan terjatuhnya mereka kepada perangkap setan yang selalu berusaha menyesatkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka bertakwalah wahai saudara-saudaraku
rahimakumullah. Janganlah kita tertipu oleh setan yang senantiasa menghalangi
kita dari berpegang teguh di atas agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Janganlah
kita tertipu dengan rayuannya yang menghias-hiasi maksiat sehingga nampak baik
dan mengajak untuk berlebih-lebihan dalam beribadah sehingga menjalankan ibadah
yang tidak disyariatkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi
kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu
hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala senantiasa menunjukkan jalan yang diridhai-Nya, kepada kita dan seluruh
kaum muslimin.
Sumber
Bacaan:
Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, hal. 353Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 1/183
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=711
0 Komentar