Makna Dua Kalimat Syahadat
Dua kalimat syahadat adalah pintu ger¬bang memasuki agama Islam. Siapapun yang ingin memasuki agama ini harus ter¬lebih dahulu meng¬ik¬rarkan, memahami isi dan meng¬er¬jakan kon¬sekwen¬sinya. Tanpa memahami makna dan kon¬sekwen-sinya maka ucapan yang di ikrarkan seseorang akan men¬jadi per¬kataan yang tidak bermakna.
Dua kalimat syahadat bukanlah sekedar ucapan. Sebab kalaulah sekedar ucapan, maka tidak ada pem¬beda antara seorang munafik dan orang ber¬iman. akan setara kedudukan Abdullah bin Ubay seorang pemim¬pin kaum munafikin, dengan Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam pemim¬pin kaum muk¬minin, karena keduanya meng¬ucapkan ikrar yang sama.
Kalaulah sekedar melafazkan, tidak akan per¬nah ber¬kobar peperangan melawan para pem¬bang¬kang yang enggan mem¬bayar zakat. Tidak pula per¬nah ditabuh gen-derang per¬ang ter¬hadap Musailamah Al-Kazzab sang nabi palsu ber¬ikut para pengikut¬nya di masa khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memim¬pin, tidak akan di eksekusi Ja’d bin Dir¬ham maupun Al-Hallaj oleh pemerin¬tah kaum mus¬limin dikala itu, karena seluruh¬nya meng¬ik¬rarkan syahadat.
Tulisan ini adalah upaya meluruskan pemahaman sebagian kaum mus¬limin yang memahami bahwa inti islam itu ada pada ucapan dua kalimat syahadat saja, dan keis¬laman seseorang tidak akan per¬nah batal selama dia masih tetap meng-ucapkan dua kalimat tersebut.
Orang yang memuja kuburan para wali, melakukan thawaf padanya, meyem¬belih nazar atas nama mereka sam¬bil beristighatsah meng¬harapkan ban¬tuan mereka agar dijauhkan dari mara bahaya, ber¬keyakinan bahwa jimat dapat men¬datangkan keberun¬tungan, menolak musibah, dapat menyem¬buhkan penyakit, dukun dapat meng¬etahui per¬kara ghaib, menyem¬belih untuk jin dan seterus¬nya, menurut ang-gapan mereka tidak mem¬batalkan ketauhidan pelakunya, selama pelakunya masih meyakini bahwa hanya Allah¬lah satu-satunya pen¬cipta dan selama pelakunya masih meng¬ucapkan dua kalimat syahadat tadi.
Tiada kebaikan bagi orang-orang yang memp¬roklamirkan keis¬laman¬nya tanpa meng¬getahui makna la ilaha illallah. Bahkan Abu Lahab dan Abu Jahal lebih baik pemahaman¬nya ter¬hadap kalimat tauhid ini, lebih meng¬erti kan¬dungan¬nya dan kon¬sekwensi meng¬ucap¬kan¬nya. Karena itulah mereka dan kafir Quraisy enggan mengucapkannya.
Setiap kali Nabi Shalallahu alaihi wa sallam menyeru mereka untuk meng¬atakan ucapan ini, mereka menolak¬nya. Per¬nah suatu ketika Nabi Shalallhu alaihi wa sallam meng¬um¬pulkan mereka dan ber¬kata : ”Wahai manusia, katakan La Ilaha illallah kalian akan ber¬jaya, kalian akan men¬jadi penguasa bangsa Arab dan menaklukkan bangsa Ajam. Jika kalian wafat kalian akan jadi raja-raja di surga”[1]. Namun mereka menolak dan ber¬kata:” Bagaimana mung¬kin men-jadikan Tuhan-Tuhan yang banyak men¬jadi satu Tuhan? Alang¬kah aneh¬nya seruan Muhammad”.
Ber¬kata syeikh Muham¬mad At-Tamimi-rahimahullah : “Jika eng¬kau meng¬etahui bahwa orang-orang kafir yang jahilpun meng¬etahui makna la ilaha illallah, maka sung¬guh aneh bagi orang yang menyatakan keis¬laman tidak paham tafsir kalimat ini seba¬gaimana yang diketahui orang jahil kaum kuffar. Ang¬gapan mereka yang ditun¬tut hanyalah melafazkan kalimat ini tanpa dibarengi itikad qalbu ter¬hadap kon¬sekwensi mak¬nanya. Lebih ironis lagi orang yang diang¬gap ulama dari mereka meng¬gang¬gap makna la ilaha illallah ialah bahwa tidak ada yang men¬cipta, mem¬beri rezeki, meng¬gatur kecuali Allah saja. Maka tiada kebaikan bagi seseorang (yang meng¬aku beriman.red), jika orang kafir yang jahil lebih paham darinya ten¬tang makna la ilaha illallah”[2] .
Kaum musyrikin sepakat menolak seruan Muham¬mad karena paham makna kalimat ini dan tun¬tutan¬nya. Dengan meng¬ucap¬kan¬nya ber¬arti mereka harus mening¬galkan agama nenek moyang dan mening¬galkan segala ben¬tuk per-ibadatan kepada Tuhan-Tuhan mereka. Kon¬sekwensi lain mereka harus kafir kepada Latta dan Uzza mereka dan tidak lagi mem¬per¬sem¬bahkan sem¬belihan mereka kepada berhala-berhala mereka.
Adapun kaum musyrikin abad ini yang menis¬batkan diri mereka kepada Islam, senan¬tiasa melan¬tunkan ucapan la ilaha illallah, mewirid¬kan¬nya, bahkan melagukan¬nya. Tetapi mereka batalkan ucapan ter¬sebut dengan perbuatan-perbuatan yang melang¬gar hak tauhid yang ter¬ang¬kum dalam kalimat syahadat.
Tiada guna meng¬ingk¬rarkan syahadat bagi orang-orang yang duduk ber¬sim¬puh khusyuk di hadapan makam kramat yang dijadikan tem¬pat meminta dan memuja selain Allah. Apalah arti syahadat bagi orang yang meng¬gang¬gap keris, batu akik, jimat dan sejenis¬nya dapat men¬datangkan keber¬kahan, manfa’at dan menolak mara bahaya dan musibah.
Makna la ilaha illallah , Rukun, Kon¬sekwensi, Syarat dan Sebagian Keran-cuan Dalam Menafsirkannya
Hakikat makna dari kalimat la ilaha illallah yaitu meyakini dan meng¬ik¬rarkan bahwa tiada ilah yang diibadati dengan hak kecuali Allah, istiqomah dengan¬nya dan meng¬amalkan kon¬sekwen¬sinya[3]. Makna ini melahirkan kon¬sekwensi bahwa segala ben¬tuk per¬ibadatan yang dilakukan hamba harus diniatkan dan diper¬sem¬bahkan untuk Allah semata. Baik ber¬ben¬tuk doa, nazar, sem¬belihan, tawakal, istighatsah, memohon syafaat, dan sebagainya.
La ilaha illallah memiliki dua rukun yang tidak dapat dipisahkan. Per¬tama : Nafi yang ter¬kadung dalam kalimat la ilaha. Kedua Its¬bat yang ter¬kan¬dung dalam kalimat Illallah.
Makna Nafi yaitu menolak segala ben¬tuk per¬ibadatan kepada tuhan-tuhan selain Allah, bahwa segala tuhan yang disem¬bah dari selain Allah adalah batil. Makna ini melahirkan kon¬sekwensi kafir kepada thagut, mem¬benci kesyrikan dan kaum musyrikin, anti kekufuran dan kaum kafir, ber¬lepas diri dari mereka, dan menanamkan keben¬cian abadi ter¬hadap mereka sam¬pai mereka ber¬iman kepada Allah ta’ala. Seba¬gaimana kisah ber¬lepas dirinya Nabi Ibrahim dari kaum¬nya dalam firman Allah ta’ala :
قَد كانَت لَكُم أُسوَةٌ حَسَنَةٌ فى إِبرٰهيمَ وَالَّذينَ مَعَهُ إِذ قالوا لِقَومِهِم إِنّا بُرَءٰؤُا۟ مِنكُم وَمِمّا تَعبُدونَ مِن دونِ اللَّهِ كَفَرنا بِكُم وَبَدا بَينَنا وَبَينَكُمُ العَدٰوَةُ وَالبَغضاءُ أَبَدًا حَتّىٰ تُؤمِنوا بِاللَّهِ وَحدَهُ
”Sesung¬guh¬nya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang ber¬sama dengan dia, ketika mereka ber¬kata kepada kaum mereka: “Sesung¬guh¬nya Kami ber¬lepas diri dari kamu dari dari apa yang kamu sem¬bah selain Allah, Kami ing¬kari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu per¬musuhan dan keben¬cian buat selama-lamanya sam¬pai kamu ber-iman kepada Allah saja (Q.S.Al-Mumtahanah:4)
Makna its¬bat yaitu menetapkan hanya Allah ta’ala Tuhan yang hak untuk disem-bah, diibadati, diagungkan, dicinta dan diharap. Makna ini melahirkan kon-sekwensi men¬cin¬tai tauhid dan ahli tauhid, mem¬berikan loyal kepada mereka dengan men¬jadikan mereka seba¬gai wali-wali. Tidak akan mung¬kin ber¬kum¬pul dalam hati seorang muk¬min dua hal yang ber¬ten¬tangan, antara meng¬ibadati Allah ta’ala dan meng¬ibadati selain¬nya, Antara men¬cin¬tai Allah ta’ala dan Rasul¬nya dengan men¬cin¬tai musuh keduanya. Allah berfirman :
لا تَجِدُ قَومًا يُؤمِنونَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ يُوادّونَ مَن حادَّ اللَّهَ وَرَسولَهُ وَلَو كانوا ءاباءَهُم أَو أَبناءَهُم أَو إِخوٰنَهُم أَو عَشيرَتَهُم ۚ أُولٰئِكَ كَتَبَ فى قُلوبِهِمُ الإيمٰنَ
” Kamu tak akan men¬dapati kaum yang ber¬iman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menen¬tang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka (Q.S.Al-Mujadilah: 22)
Ter¬dapat beberapa keran¬cuan yang dilakukan sebagian kaum mus¬limin dalam memahami makna la ilaha illallah. Dian¬tar¬nya adalah :
1. la ilaha illallah dipahami mereka dengan menafsirkan bahwa mak¬nanya adalah tiada pen¬cipta kecuali Allah ta’ala. Penafsiran ini rancu karena belum mem¬buat orang yang meng¬ucap¬kan¬nya masuk Islam dan ber¬tauhid dengan benar. Sebab jika makna la ilaha illallah hanya menun¬tut seorang meyakini bahwa tidak ada pen¬cipta kecuali Allah ta’ala, maka kon-sekewen¬sinya kaum musyrikin Arab diang¬gap telah ber¬iman karena mereka menyakini bahwa hanya Allah ta’ala saja sang pen¬cipta. Mereka tidak per¬nah meyakini berhala-berhala mereka seba¬gai pen¬cipta. Bahkan Iblis¬pun diang¬gap ber¬iman karena Iblis meyakini dan paham bahwa Allah ta’ala adalah penciptanya.
2. la ilaha illallah dipahami mereka dengan menafsirkan bahwa mak¬nanya yaitu tiada yang ber¬hak mem¬buat hukum kecuali Allah ta’ala. Penafsiran ini juga rancu karena keyakinan bahwa Allah ta’ala saja yang ber¬hak mem¬buat hukum belum dapat mem¬buat¬nya seba¬gai ahli tauhid jika masih melakukan kesyirikan.
3. la ilaha illallah dipahami mereka dengan menafsirkan bahwa mak¬nanya yaitu tiada yang wujud kecuali Allah. Penafsiran ini tidak hanya rancu tapi juga sangat menyesatkan karena mak¬nanya bahwa segala sesuatu yang wujud tidak lain adalah Allah ta’ala. Pemikiran ini diadopsi dari Ibnu Al-Arabi yang dikafirkan para ulama karena meng¬ang¬gap semua yang dialam ini adalah jel¬maan tuhan. Maha suci Allah dari penafsiran seperti ini.
Syahadat la ilaha illallah memiliki beberapa syarat yang harus ada dalam meng-ik¬rar¬kan¬nya. Tidak sah ucapan syahadat seseorang jika tidak ter¬kum¬pul dalam ikrar¬nya syarat– syarat ter¬sebut, yaitu : meng¬etahui mak¬nanya, meyakininya dan mem¬benarkan di dalam hati, menerimanya dengan lapang dada, tun¬duk dan pas-rah dengan segala keten¬tuan¬nya, ikh¬las dalam meng¬ucap¬kan¬nya, dan men¬cin¬tai kalimat ini dengan segala konsekwensinya.
Tiada guna meng¬ik¬rarkan syahadat bagi orang yang tidak meng¬etahui apa mak-nanya, ragu dalam meng¬ucap¬kan¬nya, menolak untuk meng¬amalkan kon¬sekwen-sinya, tidak mau tun¬duk dan pas¬rah dengan segala keten¬tuan¬nya, melakukan kesyirikan, ataupun men¬dus¬takan dan mem¬benci kalimat ini.
Makna Syahadat Muham¬mad Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam , Rukun, Syarat dan Konsekwensinya
Tidak sem¬purna syahadat seseorang dengan meng¬ik¬rarkan kalimat la ilaha illallah semata jika tidak di ikuti dengan syahadat Muham¬mad Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam . Sebab salah satu kon¬sekwensi dari meng¬ik¬rarkan kalimat tauhid yang per¬tama adalah mem¬benarkan rasul yang men¬jadi utusan¬nya. Maka siapapun yang tidak mem¬per¬sak¬sikan Muham¬mad Sholallahu alaihi wa sallam seba¬gai Rasul yang diutus Allah ta’ala sama artinya men¬dus¬takan Allah ta’ala yang telah meng¬ang¬kat dan mengutusnya.
Kedua syahadat ini merupakan dua kalimat yang tidak dapat dipisah-pisahkan, men¬dus¬takan salah satu dari keduanya sama dengan men¬dus¬takan keduanya. Kafir ter¬hadap kalimat yang kedua maka kafir juga kepada kalimat yang pertama.
Kalimat tauhid yang per¬tama meng¬ikat hati manusia agar meng¬ikh¬laskan segala ben¬tuk ibadah hanya kepada Allah ta’ala. Maka apapun gerak gerik hamba yang di nilai ibadah harus ditujukan kepada Allah ta’ala semata. Tetapi manusia tidak akan dapat menyem¬bah Allah ta’ala, meng¬etahui ten¬tang diri-Nya, nama-nama maupun Sifat-sifat-Nya, tidak juga meng¬etahui bagaimana jalan men¬dekatkan diri kepada-Nya, men¬cari ridho-Nya secara lang¬sung tanpa melalui jalan dan cara yang diajarkan Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam. Maka kalimat syahadat kedua ini meng¬ikat seluruh ang¬gota zahir manusia agar ber¬amal, ber¬ibadah sesuai dengan cara Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam.
Maka makna syahadat Muham¬mad Rasulullah yaitu meng¬akui lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan utusan-Nya kepada seluruh manusia, dan meng¬amalkan kon¬sekwensi ikrar ter¬sebut dengan mem¬benarkan apa yang diberitakan¬nya, melak¬sanakan apa-apa yang diperin¬tah¬kan¬nya, men¬jauhi apa-apa yang dilarang¬nya dan tidak menyem¬bah Allah kecuali dengan apa yang disyariat¬kan¬nya.[4]
Rukun syahadat Muham¬mad Rasulullah ter¬diri dari dua perkara :
yang per¬tama meyakini bahwa beliau adalah Hamba Allah. Dengan meyakini bahwa beliau adalah hamba, dapat diketahui kesalahan orang-orang yang ter¬lam-pau ber¬lebihan menyan¬jung, memuja bahkan mem¬berikan sebagian sifat ketuhanan kepada Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam. Allah memerin¬tahkan beliau ber¬kata kepada Manusia :
قُل إِنَّما أَنا۠ بَشَرٌ مِثلُكُم
” Katakanlah : Sesung¬guh¬nya aku ini manusia biasa seperti kamu” (Q.S.Al-Kahfi 110).
Alang¬kah sesat¬nya orang-orang yang meminta ban¬tuan, ber¬doa, ber¬is¬tighatsah, memohon lin¬dungan dari mara bahaya kepada beliau Sholallahu alaihi wa sallam.
Adapun rukun yang kedua yaitu meyakini Beliau adalah utusan Allah. Dengan meyakini beliau adalah seorang utusan Allah, dapat diketahui kesalahan orang-orang yang ter¬lalu meren¬dahkan beliau, melecehkan hukum¬nya, bahkan meng-gangap beliau tak ubah¬nya seba¬gaimana manusia lain¬nya yang bisa saja salah, keliru, bahkan ter¬sesat. Allah berfirman:
قُل إِنَّما أَنا۠ بَشَرٌ مِثلُكُم يوحىٰ إِلَىَّ أَنَّما إِلٰهُكُم إِلٰهٌ وٰحِدٌ
” Katakanlah: Sesung¬guh¬nya aku ini manusia biasa seperti kamu yang telah menerima wahyu: “Bahwa Sesung¬guh¬nya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. (Q.S.Al-Kahfi 110).
Artinya walaupun beliau manusia biasa seba¬gaimana manusia lain¬nya yang dapat gem¬bira, ber¬sedih, makan, minum,sakit dan per¬kara lain¬nya, namun beliau mem-bawa risalah Ilahi yang tidak dimiliki manusia lain¬nya. Karena itu apapun yang beliau sam¬paikan adalah wahyu yang harus dibenarkan dan diterima. Hukum, keputusan, petun¬juk, akidah, ibadah maupun cara ber¬mualah beliau adalah con-toh suri tauladan yang harus di panuti.
Adapun syarat dan kon¬sekwensi meng¬ik¬rarkan ucapan Muham¬mad Rasulullah, ter¬ang¬kum dalam poin-poin ber¬ikut ini:
1. Meng¬akui dan mem¬benarkan kerasulan¬nya dalam hati.
2. Meng¬ik¬rarkan kesak¬sian ter¬sebut dengan lisan
3. Meng¬ikuti petun¬juk beliau, baik ber¬upa men¬jalankan per¬in¬tah maupun men¬jauhi larangannya.
4. Mem¬benarkan apa yang diberitakan baik yang ber¬kaitan dengan per¬kara ghaib yang telah ber¬lalu maupun yang akan datang.
5. Men¬cin¬tai beliau lebih daripada men¬cin¬tai diri sen¬diri, harta, orang tua, anak, dan seluruh manusia.
6. Men¬dahulukan per¬kataan beliau dari pada per¬kataan siapapun dan meng-amalkan sunnahnya.
Penutup
Banyak orang yang meng¬aku cinta kepada Nabi Sholallahu alaihi wa sallam , meng¬aku seba¬gai pengikut¬nya, tetapi tida guna dakwaan jika tidak di ikuti dengan bukti. Ber¬kata seorang penyair Arab : ”Setiap orang meng¬aku punya hubungan khusus dengan Laila, sayang Laila tidak per¬nah mem¬benarkan pengakuan mereka”. Kalaulah dakwaan cinta kepada nabi Sholallahu alaihi wa sallam cukup dengan sekedar ucapan belaka, alang¬kah banyak¬nya pengikut Nabi Sholallahu alaihi wa sallam. Sayang dakwaan tidak sah tanpa men¬datangkan bukti.
Allah telah menurunkan ayat seba¬gai tim¬bangan kebenaran dakwaan orang-orang yang meng¬aku men¬cin¬tai Allah ta’ala. Allah berfirman :
قُل إِن كُنتُم تُحِبّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعونى يُحبِبكُمُ اللَّهُ وَيَغفِر لَكُم ذُنوبَكُم ۗ وَاللَّهُ غَفورٌ رَحيمٌ
” Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) men¬cin¬tai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah meng¬asihi dan meng¬am¬puni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengam¬pun lagi Maha Penyayang.”(Q.S.Al-Imran:31).
Kebenaran dakwa cinta akan ter¬bukti jika seseorang benar-benar men¬jadikan Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam seba¬gai panutan¬nya dalam segala sisi kehidupan beliau, baik dalam akidah, ibadah, muamalah, siyasah maupun akhlaknya.
Semoga Allah ta’ala senan¬tiasa mem¬bim¬bing kita agar dapat meniti jalan yang ditapak Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam, tetap ber¬sabar di atas¬nya, hingga kematian men¬jem¬put kita
wallahul musta’an.
Sumber:Majalah As-Saliim edisi 2– Sep¬tem¬ber 2008 (Ustadz A.Fairuz Lc)
________________________________________
[1]Mukhtasar Sirah Ar-Rasul,Muham¬mad bin Abdul Wahhab. Hlm.60
[2] Kasyfu As-Syubuhat,Muham¬mad At-Tamimi. Hlm. 44.
[3] Aqidah tauhid, DR. Sholeh Fauzan. Hlm. 39
[4] Aqidah Tauhid,DR.Sholeh Fauzan, hlm. 40
0 Komentar