Meneropong Ke Dalam Hati
Diriwayatkan dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar dan meragukan. Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang samar dan meragukan itu maka niscaya akan terpelihara agama dan harga dirinya. Dan barangsiapa yang nekad menerjang hal-hal yang samar dan meragukan itu maka dia terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan hewannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir saja dia memasukinya. Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baiklah seluruh anggota badan. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]).
Makna qalb
Dalam bahasa Arab jantung disebut ‘qalb’, terkadang kata ‘qalb’ juga dipakai untuk menyebut akal (lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, 2/753). Al-Farra’ -seorang pakar bahasa Arab- mengatakan bahwa makna qalb dalam ayat (yang artinya), “Bagi orang yang memiliki qalb.” (QS. Qaf : 37) ialah akal (kamus Mukhtar Ash-Shihah, alwarraq.com). Dalam terjemah Al-Qur’an ke bahasa Indonesia yang di tas-hih oleh Departemen Agama ‘qalb’ diartikan sebagai ‘hati’ (lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 520. Penerbit Syaamil). Wal hasil, di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan bahwa akal itu letaknya di dalam hati.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan (Syarh Muslim, 6/108-109), “Di dalam hadits ini terdapat penegasan agar (manusia) berupaya memperbaiki hati serta menjaganya dari kerusakan. Sekelompok ulama berargumen dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa akal terletak di dalam hati bukan di kepala (otak), dan dalam hal ini terdapat khilaf yang masyhur. Pendapat para ulama madzhab kami (madzhab Syafi’i) dan mayoritas mutakallimin menyatakan bahwa akal terletak di dalam hati.” Pendapat serupa juga disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dengan menyebutkan dalil-dalilnya ketika menjelaskan kandungan hadits ini (lihat Fath Al-Bari, 1/158).
Pentingnya memperbaiki hati
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan pentingnya hati bagi amal perbuatan sebagaimana peranan jantung bagi anggota badan. Jantung memompa darah ke seluruh tubuh sehingga sangat menentukan kesehatan badan, sebagaimana halnya baiknya hati sangat menentukan baiknya amal perbuatan. Maka hadits di atas merupakan rujukan dalam masalah agama dan juga dalam masalah medis/pengobatan (faidah ini kami petik dari rekaman ceramah Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah berjudul Atsarul ‘aqidah ‘alal istiqamah). Ketika mengomentari bagian akhir hadits di atas, Ibnu Rajab -rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik hamba dengan anggota badannya, kemampuannya menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dan keteguhannya dalam menjaga diri dari hal-hal yang syubhat/samar bergantung pada kebaikan gerak-gerik hatinya…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Makt. Syamilah).
Hati yang hidup, mati, dan sakit
Untuk memperjelas hal ini, marilah kita simak penuturan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berikut ini. Beliau mengatakan (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Albani, hal. 274-275), “Ketahuilah, sesungguhnya hati bisa hidup dan bisa mati, bisa sakit dan bisa sehat. Hati merupakan unsur (non-fisik) yang paling agung di dalam tubuh. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya, “Apakah sama antara orang yang dahulunya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di antara manusia, dengan orang yang senasib dengannya namun tetap terkungkung di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.” (QS. Al-An’aam : 122). Maksudnya orang tersebut sebelumnya mati karena tenggelam dalam kekafiran, kemudian Kami (Allah) pun menghidupkan jiwanya dengan iman.”
Beliau melanjutkan, “Hati yang sehat dan hidup apabila disodori kebatilan dan perkara-perkara yang buruk maka nalurinya akan mendorong untuk menjauhi hal itu dan membencinya serta tidak mau memperhatikannya. Berbeda keadaannya dengan hati yang mati. Hati yang mati tidak mampu membedakan baik dan buruk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma’ruf dan mungkar.” Begitu pula halnya hati yang sakit karena terjangkit syahwat. Maka hati (yang sakit) semacam itu -karena kelemahannya- akan condong kepada kebatilan dan keburukan yang disodorkan kepadanya bergantung pada kuat-lemahnya penyakit tersebut.” (hal. 275)
Dua macam penyakit hati
Kemudian Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah memaparkan, “Penyakit hati ada dua macam, sebagaimana yang telah disinggung di depan : penyakit syahwat (keinginan yang terlarang) dan penyakit syubhat (penyimpangan cara berpikir). Penyakit yang paling buruk di antara keduanya adalah syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang terkait dengan masalah takdir. Terkadang hati itu menderita sakit dan semakin bertambah parah namun orangnya tidak menyadari hal itu. Hal itu bisa saja terjadi karena dia tidak mau mengenali hakikat kesehatan hatinya dan sebab-sebab untuk menjaganya. Bahkan terkadang hati seseorang mati namun dia tidak menyadari kematiannya. Ciri yang menunjukkan keadaan itu adalah tatkala [1] dosa yang timbul akibat melakukan perbuatan buruk/maksiat tidak bisa lagi membuat hatinya terluka, begitu pula [2] ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidak mengertiannya mengenai aqidah yang keliru sudah tidak terasa menyakitkan baginya. Sebab apabila hati masih hidup tentu akan bisa merasakan sakit karena mengalirnya sesuatu yang buruk (dosa) kepadanya, dan merasa sedih dan terluka akibat kebodohan dirinya terhadap kebenaran, dan besarnya rasa sakit itu bergantung pada kadar kehidupan yang ada padanya. (Sebagaimana dikatakan oleh penyair), “Luka yang bersarang di tubuh mayit, tentu tidak lagi menyakitinya.”.” (hal. 275)
Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13). Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya. (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)
Berjuang melawan penyakit
Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan dalam Syarahnya, “Terkadang orang merasakan penyakit yang bersarang di dalam hatinya, namun dia mau menahan rasa pahit yang sangat karena menelan obat dan berusaha tetap sabar untuk menyembuhkan dirinya. Maka dia lebih menyukai merasa sakit karena proses pengobatan yang harus dijalaninya begitu susah (daripada membiarkan penyakitnya terus menjalar). Sesungguhnya obat untuk penyakit hati adalah dengan berjuang menyelisihi hawa nafsu. Padahal perkara itu -menyelisihi nafsu- adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat bagi jiwa manusia. Namun, memang tidak ada obat lain yang lebih manjur daripada obat itu. Terkadang, ketika berusaha untuk melatih jiwanya untuk sabar kemudian ternyata tekadnya memudar di tengah jalan sehingga hal itu membuatnya tidak mau lagi bertahan; karena begitu lemah ilmu, keyakinan, dan kesabaran dirinya. Hal itu sebagaimana halnya orang yang berusaha menempuh suatu jalan menuju daerah yang aman namun jalan itu diliputi dengan hal-hal yang menakutkan. Padahal si penempuh jalan itu pun menyadari bahwa apabila dia mau bersabar niscaya rasa takut itu akan lenyap dan berakhir dengan rasa aman. Untuk itulah dia memerlukan kekuatan sabar dan keyakinan yang kokoh terhadap tujuan yang akan dicapai. Kapan saja sabar dan keyakinannya melemah, maka dia akan berputar haluan meninggalkan jalan itu dan tidak mau repot-repot merasakan beratnya kesulitan yang ada di sana. Apalagi jika tidak ada teman (baik) yang menyertainya sehingga dia merasa gentar berjalan sendirian (di atas kebenaran), maka dia pun mengeluh, “Di manakah orang-orang (baik) itu, di saat aku membutuhkan mereka; sehingga aku bisa meniru mereka!”. Inilah keadaan yang menimpa kebanyakan orang, dan itulah penyebab kehancuran mereka. Sesungguhnya orang yang benar-benar sabar dan tulus tidak akan merasa gentar hanya karena sedikitnya teman ataupun karena kehilangan kawan; hal ini akan bisa dia rasakan ketika hatinya senantiasa merasakan kebersamaan (persahabatan) dengan generasi yang pertama, yaitu (sebagaimana makna firman Allah), “Orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisaa’ : 69)….” (hal. 275)
Beliau kembali menuturkan, “Tanda sakitnya hati adalah ketika dia berpaling dari mengkonsumsi asupan gizi yang bermanfaat dan cocok (bagi kesehatan hatinya) menuju asupan-asupan yang berbahaya, serta ketika dia berpaling meninggalkan obat yang manjur kepada obat yang membahayakannya. Maka di sini ada empat perkara : [1] asupan yang bermanfaat, [2] obat yang menyembuhkan, [3] asupan yang membahayakan, dan [4] obat yang membinasakan. Hati yang sehat akan memilih sesuatu yang bermanfaat dan menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya dan menyakiti. Sedangkan hati yang sakit justru sebaliknya. Asupan paling bermanfaat adalah asupan iman, sedangkan obat paling bermanfaat adalah obat Al-Qur’an, dan masing-masing dari keduanya (iman dan Al-Qur’an) juga menyimpan asupan sekaligus obat. Sehingga orang yang menginginkan kesembuhan dengan selain (bimbingan) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia tergolong ajhalul jaahiliin (orang yang paling bodoh) dan termasuk deretan adhalludh dhaalliin (orang yang paling sesat)…” (hal. 276).
Menimba ilmu, jalan untuk mendapatkan obat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menuntut ilmu termasuk amal kebaikan yang paling utama, sedangkan kebaikan-kebaikan itu akan melenyapkan kejelekan. Maka sangat layak jika menuntut ilmu karena mengharapkan wajah Allah menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa yang telah lalu. Dalil-dalil menunjukkan bahwa mengikuti kejelekan dengan kebaikan akan dapat menghapuskan kejelekan. Lantas bagaimanakah lagi dengan suatu amal yang tergolong kebaikan paling utama dan ketaatan yang paling mulia! Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, beliau pernah berkata, “Sesungguhnya ada seorang yang keluar dari rumahnya sedangkan dia menanggung dosa yang banyak sebagaimana bukit Tihamah, tatkala dia mendengar ilmu (disampaikan) maka dia pun merasa takut, kembali (taat) dan bertaubat. Maka pulanglah dia ke rumahnya dalam keadaan bersih dari dosa. Oleh sebab itu janganlah kalian memisahkan diri dari majelis para ulama.” (Al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 80). [Ari Wahyudi]
0 Komentar