Kisah Blusukan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz
Umar bin Abdulazis
(UBA) sosok langka. Bukannya merasa hebat, jabatan khalifah justru buat stress.
Tiap sampai rumah, UBA langsung sujud di ruang khususnya. Sambil bercucur air
mata, ucapnya: “Ya ummati. Ya ummati”.
Boro-boro nikmati,
fasilitas khalifah tak terpikir. Kengerian pertanggungjawaban telak terpahat.
Khalifah dan hamba menyatu dalam diri. Memimpin umat dengan kepala. Mengelola
umat dengan hati. Khalifah bangunannya, hamba landasannya, & iman jiwanya.
Khalifah memang
penting. Cuma baginya, dirinya tak penting. Kebijakan dan sikap, itu yang
terpenting. Sebagai khalifah, kebijakannya harus maslahat. Sebagai hamba,
sikapnya musti tawadhu. Kehambaan. Berapa banyak pejabat yang sadar dirinya
tetaplah hamba Allah?
Sejak jadi khalifah,
taqwanya makin kuat. Sebelumnya dia masih senang bermewah, makan enak, dan
plesiran. Itupun masih dia lakukan saat jadi Gubernur Makkah, Madinah, dan
Thief.
Sebagai khalifah,
ketaqwaan UBA memang diuji. Suatu saat datanglah rombongan. Saat mulai dialog,
berdirilah anak yang belum 20 tahun. “Yang lebih tua silakan bicara”, pintanya.
Apa jawaban pemuda
itu? “Tuanku. Jika usia jadi ukuran. Tentu masih banyak orang yang lebih berhak
duduk sebagai khalifah ketimbang tuanku”.
Kali ini UBA terkejut.
Sambil minta maaf, dipersilakan pemuda itu memimpin.
Tak lama kemudian,
datanglah seseorang membawa anggur. Lantas apa pula kata UBA: “Jual anggur ini
ke pasar. Hasilnya berikan untuk makanan kuda itu”.
Tanggung jawab sebagai
khalifah, menuntun UBA blusukan. Baginya blusukan musti diam-diam. Jelang
tengah malam. Tak boleh ada yang tahu. Sekalipun pengawalnya. Menyamar. Itu
caranya.
Setidaknya ada dua
tujuan blusukan. Pertama, tahu kondisi rakyat sesungguhnya. Kedua, blusukan
itu jadi bahan kebijakan. Keadilan musti tegak, demi kehidupan rakyat. Itulah
mengapa keadilan mendekati taqwa. Yang taqwa pasti egaliter, dekat rakyat, dan
selalu ingat Allah SWT.
Bersyukurlah rakyat
yang pemimpinnya blusukan. Cuma ada syarat. Tak terang-terangan. Apalagi
diawasi pengawal dari kejauhan. Wajah yang blusukan tak boleh dikenali. Agar
informasi murni. Tak ada takut. Tak ditutup-tutupi. Dan tak perlu jaga perasaan
karena tak kenal yang blusukan.
Kebiasaan blusukan UBA
mewarisi kebiasaan Umar bin Khatab ra, sang kakek. Khalifah yang langsung usung
karung di pundak. Khalifah yang hidupnya amat sederhana. Bajunya dihiasi 14
tambalan.
Blusukan UBA juga
cerdas. Di antaranya khafilah yang bermalam di tenda-tenda disambangi. Mereka
inilah yang tahu kondisi sebenarnya masyarakat. Begitulah saat bincang di satu
tenda khafilah. “Masyarakat baik-baik. Beda dengan sebelumnya. Kini mereka tak bicara
buruk pada kerajaan”.
“Malah ada peternak
yang gembira. Kambingnya tak lagi diterkam serigala. Bukankah janji Allah
betul. Bahwa saat keadilan tegak, binatang pun tak lagi semena-mena. Peternak
itu bilang. Ini pasti khalifahnya adil,” jelas yang lain di rombongan itu.
Segera UBA menghilang
di kegelapan padang pasir. Sambil menangis UBA mohon ampun. Dia khawatir. Apa
betul yang disangkakan orang. Jangan-jangan rakyat tetap hidup susah.
Maka UBA pun bertanya
pada pembantunya. “Bagaimana kabar, umat?”
“Makin hari makin
baik. Kecuali tiga pihak”, jawab pembantunya.
“Siapa?”
“Aku. Kuda tuanku. Dan
keluarga tuanku”.
Mendengar itu
meledaklah tangisnya. “Ampuni aku ya Rabb. Ampuni aku”, lirihnya. Begitu
takutnya UBA akan pengadilan nanti. Keluarganya pun kini musti hidup
sesederhana rakyatnya.
Pemimpin memang tak
musti miskin. Tapi pemimpin tak boleh buat rakyat susah. Berjuang juga bukan
harus berpayah-payah sengsara. Namun saat rakyat hidup miskin, pemimpin musti
tampil jadi pembela.
Pengusaha tak perlu
diurus. Karena juga seperti orang kaya, mereka bisa urus dirinya. Tapi saat
orang kaya yang justru diurus negara, bisa-bisa mereka tekuk negara.
Sumber: http://www.republika.co.id
0 Komentar